miss u sis…
Begitulah status message di akun yahoo messenger salah seorang temanku di suatu sore. Sebuah pesan bagi saudarinya. Aku merasa yakin bahwa aku mengetahui kepada siapa pesan itu ditujukan. Aku menjadi tertegun karena membacanya. Pikiran berangsur terisi, dan mengeruh. Kemudian aku kembali bekerja, dan pikiran itu mulai tergantikan oleh persoalan lain. Tapi itu hanya untuk sementara...
Aku tiba di rumah pada pukul 20.00. Di sepanjang perjalanan pulang, pikiranku dipenuhi berbagai macam hal. Sebenarnya, itu telah menjadi semacam "rutinitas" selama berkendara pergi-pulang kantor; "rutinitas" yang sungguh kutakuti karena terkadang membuat konsentrasiku dalam berkendara menjadi terganggu. Kecelakaan menghantui. Tapi toh aku tak jarang tetap (memilih?) larut (atau terlamunkan?) olehnya dan menjadi tak menyadari bahaya itu.
Ketika aku menuliskan ini, waktu hampir beranjak ke pukul 21.00. Pikiran dan hatiku masih terusik. Rasanya tidak tenang. Aku mengamat-amati keduanya: sepertinya masih karena status message itu.
***
Dirindukan orang lain. Kelihatannya sudah lama sekali aku tidak mengalami atau merasakannya. Entah karena memang tidak ada yang merindukanku, atau justru karena diriku tertutup terhadap kerinduan orang lain itu. Aku tak tahu.
Apakah keluargaku merindukanku?
Apakah teman-teman SMA-ku merindukanku?
Apakah teman-teman SMP-ku merindukanku?
Apakah teman-teman kuliahku merindukanku?
Apakah teman-teman kantorku merindukanku?
Apakah mereka semua dirindukan oleh orang lain?
Apakah aku merindukan mereka???
Yang terpikir jadi mencari cara-cara agar dirindukan, agar kembali dirindukan.
Lantas, pikiran lain mengambil alih. Sebagaimana halnya permasalahan cinta yang dikemukakan Fromm, mungkin benar adanya kalau orang melihat persoalan rindu sebagai pertama-tama dirindukan, bukannya merindukan. Pengennya lebih dulu dirindukan. Baru kemudian merindukan. Itupun kalau tergerak hatinya. Ah...
***
Aku tiba di rumah pada pukul 20.00. Di sepanjang perjalanan pulang, pikiranku dipenuhi berbagai macam hal. Sebenarnya, itu telah menjadi semacam "rutinitas" selama berkendara pergi-pulang kantor; "rutinitas" yang sungguh kutakuti karena terkadang membuat konsentrasiku dalam berkendara menjadi terganggu. Kecelakaan menghantui. Tapi toh aku tak jarang tetap (memilih?) larut (atau terlamunkan?) olehnya dan menjadi tak menyadari bahaya itu.
Ketika aku menuliskan ini, waktu hampir beranjak ke pukul 21.00. Pikiran dan hatiku masih terusik. Rasanya tidak tenang. Aku mengamat-amati keduanya: sepertinya masih karena status message itu.
***
Dirindukan orang lain. Kelihatannya sudah lama sekali aku tidak mengalami atau merasakannya. Entah karena memang tidak ada yang merindukanku, atau justru karena diriku tertutup terhadap kerinduan orang lain itu. Aku tak tahu.
Apakah keluargaku merindukanku?
Apakah teman-teman SMA-ku merindukanku?
Apakah teman-teman SMP-ku merindukanku?
Apakah teman-teman kuliahku merindukanku?
Apakah teman-teman kantorku merindukanku?
Apakah mereka semua dirindukan oleh orang lain?
Apakah aku merindukan mereka???
Yang terpikir jadi mencari cara-cara agar dirindukan, agar kembali dirindukan.
Lantas, pikiran lain mengambil alih. Sebagaimana halnya permasalahan cinta yang dikemukakan Fromm, mungkin benar adanya kalau orang melihat persoalan rindu sebagai pertama-tama dirindukan, bukannya merindukan. Pengennya lebih dulu dirindukan. Baru kemudian merindukan. Itupun kalau tergerak hatinya. Ah...
***
Comments
Post a Comment