Betapa dalam hidup ini, kita membutuhkan kepastian. Cara untuk mendapatkannya adalah dengan mengumpulkan pengetahuan yang diharapkan akan menumbuhkan keyakinan. Pengetahuan itu antara lain diperoleh dari pengamatan dan pengalaman.
Dalam kaitannya dengan pernyataan yang saya sarikan dari prolog buku karangan Nassim Nicholas Taleb yang berjudul The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable itu, saya berefleksi sejenak.
Saya adalah penggemar berat supergrup musik rock bernama Mr. Big yang dibentuk pada tahun 1988 oleh empat orang: Billy Sheehan, Paul Gilbert, Eric Martin, dan Pat Torpey. Pada awal kiprah mereka sebagai sebuah grup, mereka mampu meraih kesuksesan luar biasa.
Memasuki pertengahan dekade 1990-an, pengaruh musik rock meredup akibat perubahan tren musik. Seiring dengan itu, mulai muncul pula friksi dalam kelompok, terutama antara sang gitaris, Paul, dengan ketiga anggota band lainnya.
Pada tahun 1997, Paul akhirnya keluar dari Mr. Big untuk mengejar karir solo yang ternyata telah mengisi pikirannya untuk beberapa waktu lamanya, dan menjalaninya dengan hasil cukup gemilang. Ia juga sempat menghidupkan band lamanya, Racer X. Bersama Racer X, Paul mengeluarkan sejumlah album pascahengkang dari Mr. Big.
Mr. Big bertahan dengan gitaris baru, Richie Kotzen. Saya mengenang formasi baru ini sebagai formasi yang juga menelurkan sejumlah lagu yang saya sukai seperti halnya formasi awal. Namun, 'cinta' saya terhadap Mr. Big tak pernah beralih dari formasi awalnya.
Formasi baru ini menghasilkan beberapa album hingga friksi kembali terjadi. Kali ini, Billy, sang basis, menjadi pemicunya. Pada saat yang sama, Billy diketahui telah menjalani sejumlah proyek pribadi selama beberapa tahun. Vokalis Eric Martin, yang memiliki sejarah panjang sebagai seorang vokalis solo, juga telah memanfaatkan waktu-waktu luang dan rehatnya dari Mr. Big untuk membuat beberapa album solo, maupun berkolaborasi dengan sejumlah musisi.
Bubarnya kelompok telah di depan mata. Seandainya itu terjadi, para personel telah siap dengan rencana pribadinya masing-masing. Akhirnya, pada tahun 2002, Mr. Big benar-benar bubar.
Bagi saya (yang menganggap Mr. Big sudah 'setengah bubar' ketika Paul Gilbert menyatakan keluar dari grup itu), bubarnya Mr. Big itu tidak menjadi berita yang terlalu mengagetkan (sebagian karena 'cinta' saya kepada Mr. Big meluntur semenjak terjadi pergantian gitaris, sehingga tidak lagi menaruh minat kepada Mr. Big sebesar ketika masih diawaki Paul).
Dalam logika sederhana saya, peristiwa bubarnya Mr. Big itu tidak terlalu sulit diprediksi. Apalagi, berdasarkan pengamatan dan pemikiran sederhana saya terhadap perjalanan grup itu, para personelnya memiliki aspirasi yang kuat terhadap karir solo, yang berkombinasi dengan fakta tak terbantahkan mengenai kian pudarnya 'pesona' musik rock pada masa ketika mereka mulai jaya sebagai grup. Alasan-alasan yang sama bahkan membuat saya, pada waktu itu, sama sekali tidak tergelitik untuk berpikir tentang kemungkinan bergabungnya kembali mereka.
Nyatanya, pertemuan antara Paul, Billy, Pat, dan Richie pada sebuah konser di tahun 2008 mengawali kemungkinan itu. Kegembiraan luar biasa yang dirasakan oleh Paul, Billy, dan Pat saat tampil sepanggung setelah sekian lama berpisah itu, mendorong mereka untuk mengontak Eric beberapa hari kemudian.
Dalam kaitannya dengan pernyataan yang saya sarikan dari prolog buku karangan Nassim Nicholas Taleb yang berjudul The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable itu, saya berefleksi sejenak.
Saya adalah penggemar berat supergrup musik rock bernama Mr. Big yang dibentuk pada tahun 1988 oleh empat orang: Billy Sheehan, Paul Gilbert, Eric Martin, dan Pat Torpey. Pada awal kiprah mereka sebagai sebuah grup, mereka mampu meraih kesuksesan luar biasa.
Memasuki pertengahan dekade 1990-an, pengaruh musik rock meredup akibat perubahan tren musik. Seiring dengan itu, mulai muncul pula friksi dalam kelompok, terutama antara sang gitaris, Paul, dengan ketiga anggota band lainnya.
Pada tahun 1997, Paul akhirnya keluar dari Mr. Big untuk mengejar karir solo yang ternyata telah mengisi pikirannya untuk beberapa waktu lamanya, dan menjalaninya dengan hasil cukup gemilang. Ia juga sempat menghidupkan band lamanya, Racer X. Bersama Racer X, Paul mengeluarkan sejumlah album pascahengkang dari Mr. Big.
Mr. Big bertahan dengan gitaris baru, Richie Kotzen. Saya mengenang formasi baru ini sebagai formasi yang juga menelurkan sejumlah lagu yang saya sukai seperti halnya formasi awal. Namun, 'cinta' saya terhadap Mr. Big tak pernah beralih dari formasi awalnya.
Formasi baru ini menghasilkan beberapa album hingga friksi kembali terjadi. Kali ini, Billy, sang basis, menjadi pemicunya. Pada saat yang sama, Billy diketahui telah menjalani sejumlah proyek pribadi selama beberapa tahun. Vokalis Eric Martin, yang memiliki sejarah panjang sebagai seorang vokalis solo, juga telah memanfaatkan waktu-waktu luang dan rehatnya dari Mr. Big untuk membuat beberapa album solo, maupun berkolaborasi dengan sejumlah musisi.
Bubarnya kelompok telah di depan mata. Seandainya itu terjadi, para personel telah siap dengan rencana pribadinya masing-masing. Akhirnya, pada tahun 2002, Mr. Big benar-benar bubar.
Bagi saya (yang menganggap Mr. Big sudah 'setengah bubar' ketika Paul Gilbert menyatakan keluar dari grup itu), bubarnya Mr. Big itu tidak menjadi berita yang terlalu mengagetkan (sebagian karena 'cinta' saya kepada Mr. Big meluntur semenjak terjadi pergantian gitaris, sehingga tidak lagi menaruh minat kepada Mr. Big sebesar ketika masih diawaki Paul).
Dalam logika sederhana saya, peristiwa bubarnya Mr. Big itu tidak terlalu sulit diprediksi. Apalagi, berdasarkan pengamatan dan pemikiran sederhana saya terhadap perjalanan grup itu, para personelnya memiliki aspirasi yang kuat terhadap karir solo, yang berkombinasi dengan fakta tak terbantahkan mengenai kian pudarnya 'pesona' musik rock pada masa ketika mereka mulai jaya sebagai grup. Alasan-alasan yang sama bahkan membuat saya, pada waktu itu, sama sekali tidak tergelitik untuk berpikir tentang kemungkinan bergabungnya kembali mereka.
Nyatanya, pertemuan antara Paul, Billy, Pat, dan Richie pada sebuah konser di tahun 2008 mengawali kemungkinan itu. Kegembiraan luar biasa yang dirasakan oleh Paul, Billy, dan Pat saat tampil sepanggung setelah sekian lama berpisah itu, mendorong mereka untuk mengontak Eric beberapa hari kemudian.
Pada pertengahan 2009, saya berada di Pantai Karnaval, Ancol, untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri reuni mereka berempat sebagai Mr. Big dalam sebuah konser.
Kekagetan atas bersatunya kembali keempat personel awal Mr. Big agaknya dialami oleh cukup banyak orang. Mungkin demikian juga halnya dulu ketika Paul menyatakan keluar dari Mr. Big, atau saat Eric, Billy, Pat, dan Richie membubarkan Mr. Big. Namun, poin dari peristiwa-peristiwa itu adalah sesuatu yang tadinya dianggap tidak cukup meyakinkan atau memiliki alasan untuk terwujud, nyatanya justru terjadi.
Peristiwa-peristiwa di atas--sebagaimana halnya peristiwa-peristiwa sejarah lainnya yang sempat dianggap tidak akan terjadi, di antaranya penemuan telepon, keruntuhan tembok Berlin, bubarnya Uni Soviet, kejatuhan Presiden Soeharto pada tahun 1998, serangan teroris pada 11 September 2001 di Amerika Serikat, atau, yang terbaru, jatuhnya rezim otoriter di Tunisia, menggambarkan bahwa upaya meraih kepastian dengan mengumpulkan berbagai pengetahuan melalui pengamatan dan pengalaman, dapat berakhir pada pengakuan atas ungkapan: 'tidak ada hal yang pasti kecuali ketidakpastian itu sendiri' (peribahasa), dan 'yang kutahu, aku tidak tahu apa-apa' (Socrates).
Sejatinya, peristiwa-peristiwa 'langka' itu (Taleb menyebutnya sebagai 'Black Swan', dengan huruf 'b' dan 's' kapital) bisa membuktikan bahwa kepastian tidak dapat dijamin sepenuhnya. Toh, terjadinya peristiwa-peristiwa itu belum tentu akan 'membuka mata' kita untuk memahami benar-benar ungkapan di akhir paragraf sebelumnya. Alhasil, malah muncul kecenderungan untuk, lagi-lagi, mencoba meramalkan (baca: memastikan) terjadinya peristiwa-peristiwa sejenis berdasarkan pengetahuan akan peristiwa-peristiwa sejenis yang terjadi sebelumnya.
Kecenderungan itulah yang digugat oleh Taleb dalam bukunya. Ia tidak memberikan penekanan terhadap peristiwa-peristiwa langka itu pada dirinya sendiri, melainkan peran yang dijalankannya dalam sejarah manusia dan peluang yang dapat dipetik oleh manusia dari peristiwa-peristiwa sejenis (tentunya yang 'positif' seperti penemuan pesawat terbang, dan bukan yang 'negatif' seperti bencana).
Mari menelisik penekanan itu. Tentang peran Black Swan dan signifikansinya dalam sejarah manusia, siapakah yang dapat menyangkal konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh lengsernya Presiden Soeharto pada tahun 1998 terhadap kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini, terhadap kehidupan Anda? Anda dapat? Begitu besarnya dampak yang disebabkan oleh Black Swan terhadap hidup kita semestinya membuat kita tidak begitu saja mengabaikan keberadaannya.
Pun marilah membayangkan seandainya dulu Anda-lah yang berada di posisi Thomas Alva Edison, yang pernah dianggap gila oleh sebagian orang karena membuat ribuan teori dan melakukan banyak sekali percobaan mengenai lampu listrik. Tentu Anda akan dikenang sekurang-kurangnya sebagai seseorang yang telah menerangi dunia dalam arti harfiah, yang pernah memegang lebih dari seribu paten atas nama sendiri, dan yang hingga saat ini terus menginspirasi banyak entrepreneur dan penemu. Namun, hanya Edison-lah yang mampu merealisasikan sesuatu yang menurut kebanyakan orang saat itu, nyaris tidak mungkin terwujud. Pada ide-idenya yang merepresentasikan potensi Black Swan itu, ia justru mampu melihat peluang.
Dari uraian mengenai peran dan peluang terkait Black Swan itu, Taleb ingin mengajak kita untuk berhenti memprediksi masa depan berdasarkan hal-hal yang kita ketahui, melainkan menggali peluang dari 'ketidakpastian' yang positif dan menyiapkan diri terhadap 'ketidakpastian' yang negatif.
Kepastian; ketidakpastian; peran dari, dan peluang yang dimunculkan oleh, Black Swan; adalah beberapa tema pokok yang dimunculkan dalam buku tersebut. Di antara tema-tema itu, terselip tema-tema lain seperti jarak antara apa yang benar-benar Anda ketahui, apa yang Anda pikir Anda ketahui, dan apa yang Anda sungguh-sungguh tidak ketahui. Pada disparitas antara ketiga hal itulah, sesungguhnya terletak Black Swan.
Paragraf pertama prolog buku Black Swan menggambarkan hubungan itu. Ketika banyak orang--berdasarkan banyak pengamatan yang dilakukan di berbagai tempat, dan dengan bertumpu pada pengalaman-pengalaman yang ada waktu itu--mulai mengumpulkan banyak pengetahuan mengenai angsa hingga kemudian merasa yakin bahwa seluruh angsa di dunia berbulu putih, beberapa waktu setelah itu muncul penemuan angsa berbulu hitam.
Dalam struktur pemahaman Taleb, orang-orang yang meyakini bahwa seluruh angsa berbulu putih adalah orang-orang yang sebenarnya berpikir bahwa mereka mengetahui bahwa seluruh angsa berbulu putih. Namun, ketelanjuran membuat mereka merasa yakin bahwa mereka benar-benar mengetahui itu. Padahal, yang kemudian terbukti seiring ditemukannya angsa berbulu hitam adalah mereka benar-benar tidak mengetahui bahwa seluruh angsa berbulu putih.
Sebuah keyakinan telah dipatahkan. Dalam contoh di atas, 'pematahan' itu terjadi berkenaan dengan warna bulu angsa. Namun, Black Swan telah membuktikan bahwa 'pematahan' itu bisa menimpa apapun, yang ujung-ujungnya pasti menimbulkan dampak besar. Bukan tidak mungkin, Black Swan menimpa otoritas-otoritas maupun institusi-institusi yang mapan seperti pemerintah, tradisi, kepercayaan, atau bahkan agama.
Dampak besar yang akan timbul seiring dengan persentuhan antara Black Swan dengan otoritas maupun institusi itu tidak dapat dipandang remeh, justru karena keyakinan yang umumnya telanjur melekat (bahkan bisa sangat erat) pada otoritas maupun institusi itu.
Kita dapat berandai-andai mengenai kemungkinan yang terjadi ketika suatu kelompok masyarakat mendapati bahwa tradisi yang selama ini mereka jalankan ternyata mengandung cacat dan karenanya tidak dapat lagi dipertahankan. Padahal, mereka sudah telanjur merasa menjadi anggota kelompok yang 'baik' dengan sekuat tenaga menjalankan seluruh tradisi itu dan mempertahankannya.
Mengenai contoh tersebut, saya teringat peristiwa pembunuhan yang terjadi belum lama di sebuah negara di Asia Selatan. Korbannya adalah seorang gadis yang tubuhnya dialiri listrik setelah bersikeras ingin menikah dengan pria pilihannya yang tidak direstui oleh keluarga sang gadis. Ironisnya, para pelaku pembunuhan itu adalah keluarga sang gadis sendiri. Alasan mereka adalah karena si gadis telah mempermalukan keluarga dengan melanggar tradisi karena ingin menikahi pria yang berkasta lebih rendah. Menurut tradisi mereka, hukuman untuk pelanggaran yang dilakukan oleh gadis itu haruslah kematian.
Apa yang akan terjadi seandainya di kemudian hari, para penghukum atau mereka yang menjunjung tradisi itu mulai menyadari bahwa tradisi tersebut keliru? Saya tidak dapat membayangkan perasaan keluarga sang gadis, terutama yang telah membunuhnya, maupun pria pilihannya yang mungkin telah menikah dengan gadis lain. Amarah bercampur rasa malu yang dulu membara mungkin berubah menjadi nestapa dan penyesalan yang dalam. Penghormatan terhadap tradisi--yang sempat mengalahkan penghargaan atas kebebasan individu dan hidup sang gadis--bisa lenyap tanpa bekas. Satu hal yang jelas: kehidupan si gadis tidak dapat dikembalikan.
Pada titik itulah, Black Swan mengingatkan sekaligus menantang setiap orang untuk menyikapi keyakinannya terhadap sesuatu, terhadap kepastian maupun ketidakpastian, secara arif.
Setiap orang dapat secara ekstrem bersikap kukuh pada keyakinannya dan menganggapnya sebagai satu-satunya kebenaran hingga terbukti sebaliknya. Atau, ia mengambil sikap yang berkebalikan, memilih posisi di ekstrem satunya untuk tidak meyakini sesuatu hingga kebenarannya dinyatakan.
Ada alternatif pilihan yang lebih moderat: jenis keyakinan yang ditawarkan oleh Ayu Utami dalam Bilangan Fu. Ia mengibaratkan keyakinan seperti misteri, yang wajib dipanggul oleh pemeluknya hingga kebenarannya dinyatakan sendiri oleh Yang Kuasa dengan cara dijatuhkan ke bumi.
Di satu sisi, sang pemeluk memilih untuk mau meyakini sesuatu, yang disimbolkan dengan memanggul keyakinan yang adalah misteri itu di pundaknya. Namun, alih-alih menyatakannya sebagai kebenaran tunggal baik untuk dirinya sendiri maupun bagi orang lain, yang dilambangkan dengan menjatuhkannya ke bumi, ia memilih untuk terus memanggulnya hingga kebenaran itu dinyatakan sendiri oleh Sang Pemilik Kebenaran.
Kapan kebenaran itu dinyatakan? Saya sendiri tidak tahu. Makanya, itu disebut misteri.
Seperti itukah iman yang kritis? Mungkin.
***
Kekagetan atas bersatunya kembali keempat personel awal Mr. Big agaknya dialami oleh cukup banyak orang. Mungkin demikian juga halnya dulu ketika Paul menyatakan keluar dari Mr. Big, atau saat Eric, Billy, Pat, dan Richie membubarkan Mr. Big. Namun, poin dari peristiwa-peristiwa itu adalah sesuatu yang tadinya dianggap tidak cukup meyakinkan atau memiliki alasan untuk terwujud, nyatanya justru terjadi.
Peristiwa-peristiwa di atas--sebagaimana halnya peristiwa-peristiwa sejarah lainnya yang sempat dianggap tidak akan terjadi, di antaranya penemuan telepon, keruntuhan tembok Berlin, bubarnya Uni Soviet, kejatuhan Presiden Soeharto pada tahun 1998, serangan teroris pada 11 September 2001 di Amerika Serikat, atau, yang terbaru, jatuhnya rezim otoriter di Tunisia, menggambarkan bahwa upaya meraih kepastian dengan mengumpulkan berbagai pengetahuan melalui pengamatan dan pengalaman, dapat berakhir pada pengakuan atas ungkapan: 'tidak ada hal yang pasti kecuali ketidakpastian itu sendiri' (peribahasa), dan 'yang kutahu, aku tidak tahu apa-apa' (Socrates).
Sejatinya, peristiwa-peristiwa 'langka' itu (Taleb menyebutnya sebagai 'Black Swan', dengan huruf 'b' dan 's' kapital) bisa membuktikan bahwa kepastian tidak dapat dijamin sepenuhnya. Toh, terjadinya peristiwa-peristiwa itu belum tentu akan 'membuka mata' kita untuk memahami benar-benar ungkapan di akhir paragraf sebelumnya. Alhasil, malah muncul kecenderungan untuk, lagi-lagi, mencoba meramalkan (baca: memastikan) terjadinya peristiwa-peristiwa sejenis berdasarkan pengetahuan akan peristiwa-peristiwa sejenis yang terjadi sebelumnya.
Kecenderungan itulah yang digugat oleh Taleb dalam bukunya. Ia tidak memberikan penekanan terhadap peristiwa-peristiwa langka itu pada dirinya sendiri, melainkan peran yang dijalankannya dalam sejarah manusia dan peluang yang dapat dipetik oleh manusia dari peristiwa-peristiwa sejenis (tentunya yang 'positif' seperti penemuan pesawat terbang, dan bukan yang 'negatif' seperti bencana).
Mari menelisik penekanan itu. Tentang peran Black Swan dan signifikansinya dalam sejarah manusia, siapakah yang dapat menyangkal konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh lengsernya Presiden Soeharto pada tahun 1998 terhadap kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini, terhadap kehidupan Anda? Anda dapat? Begitu besarnya dampak yang disebabkan oleh Black Swan terhadap hidup kita semestinya membuat kita tidak begitu saja mengabaikan keberadaannya.
Pun marilah membayangkan seandainya dulu Anda-lah yang berada di posisi Thomas Alva Edison, yang pernah dianggap gila oleh sebagian orang karena membuat ribuan teori dan melakukan banyak sekali percobaan mengenai lampu listrik. Tentu Anda akan dikenang sekurang-kurangnya sebagai seseorang yang telah menerangi dunia dalam arti harfiah, yang pernah memegang lebih dari seribu paten atas nama sendiri, dan yang hingga saat ini terus menginspirasi banyak entrepreneur dan penemu. Namun, hanya Edison-lah yang mampu merealisasikan sesuatu yang menurut kebanyakan orang saat itu, nyaris tidak mungkin terwujud. Pada ide-idenya yang merepresentasikan potensi Black Swan itu, ia justru mampu melihat peluang.
Dari uraian mengenai peran dan peluang terkait Black Swan itu, Taleb ingin mengajak kita untuk berhenti memprediksi masa depan berdasarkan hal-hal yang kita ketahui, melainkan menggali peluang dari 'ketidakpastian' yang positif dan menyiapkan diri terhadap 'ketidakpastian' yang negatif.
Kepastian; ketidakpastian; peran dari, dan peluang yang dimunculkan oleh, Black Swan; adalah beberapa tema pokok yang dimunculkan dalam buku tersebut. Di antara tema-tema itu, terselip tema-tema lain seperti jarak antara apa yang benar-benar Anda ketahui, apa yang Anda pikir Anda ketahui, dan apa yang Anda sungguh-sungguh tidak ketahui. Pada disparitas antara ketiga hal itulah, sesungguhnya terletak Black Swan.
Paragraf pertama prolog buku Black Swan menggambarkan hubungan itu. Ketika banyak orang--berdasarkan banyak pengamatan yang dilakukan di berbagai tempat, dan dengan bertumpu pada pengalaman-pengalaman yang ada waktu itu--mulai mengumpulkan banyak pengetahuan mengenai angsa hingga kemudian merasa yakin bahwa seluruh angsa di dunia berbulu putih, beberapa waktu setelah itu muncul penemuan angsa berbulu hitam.
Dalam struktur pemahaman Taleb, orang-orang yang meyakini bahwa seluruh angsa berbulu putih adalah orang-orang yang sebenarnya berpikir bahwa mereka mengetahui bahwa seluruh angsa berbulu putih. Namun, ketelanjuran membuat mereka merasa yakin bahwa mereka benar-benar mengetahui itu. Padahal, yang kemudian terbukti seiring ditemukannya angsa berbulu hitam adalah mereka benar-benar tidak mengetahui bahwa seluruh angsa berbulu putih.
Sebuah keyakinan telah dipatahkan. Dalam contoh di atas, 'pematahan' itu terjadi berkenaan dengan warna bulu angsa. Namun, Black Swan telah membuktikan bahwa 'pematahan' itu bisa menimpa apapun, yang ujung-ujungnya pasti menimbulkan dampak besar. Bukan tidak mungkin, Black Swan menimpa otoritas-otoritas maupun institusi-institusi yang mapan seperti pemerintah, tradisi, kepercayaan, atau bahkan agama.
Dampak besar yang akan timbul seiring dengan persentuhan antara Black Swan dengan otoritas maupun institusi itu tidak dapat dipandang remeh, justru karena keyakinan yang umumnya telanjur melekat (bahkan bisa sangat erat) pada otoritas maupun institusi itu.
Kita dapat berandai-andai mengenai kemungkinan yang terjadi ketika suatu kelompok masyarakat mendapati bahwa tradisi yang selama ini mereka jalankan ternyata mengandung cacat dan karenanya tidak dapat lagi dipertahankan. Padahal, mereka sudah telanjur merasa menjadi anggota kelompok yang 'baik' dengan sekuat tenaga menjalankan seluruh tradisi itu dan mempertahankannya.
Mengenai contoh tersebut, saya teringat peristiwa pembunuhan yang terjadi belum lama di sebuah negara di Asia Selatan. Korbannya adalah seorang gadis yang tubuhnya dialiri listrik setelah bersikeras ingin menikah dengan pria pilihannya yang tidak direstui oleh keluarga sang gadis. Ironisnya, para pelaku pembunuhan itu adalah keluarga sang gadis sendiri. Alasan mereka adalah karena si gadis telah mempermalukan keluarga dengan melanggar tradisi karena ingin menikahi pria yang berkasta lebih rendah. Menurut tradisi mereka, hukuman untuk pelanggaran yang dilakukan oleh gadis itu haruslah kematian.
Apa yang akan terjadi seandainya di kemudian hari, para penghukum atau mereka yang menjunjung tradisi itu mulai menyadari bahwa tradisi tersebut keliru? Saya tidak dapat membayangkan perasaan keluarga sang gadis, terutama yang telah membunuhnya, maupun pria pilihannya yang mungkin telah menikah dengan gadis lain. Amarah bercampur rasa malu yang dulu membara mungkin berubah menjadi nestapa dan penyesalan yang dalam. Penghormatan terhadap tradisi--yang sempat mengalahkan penghargaan atas kebebasan individu dan hidup sang gadis--bisa lenyap tanpa bekas. Satu hal yang jelas: kehidupan si gadis tidak dapat dikembalikan.
Pada titik itulah, Black Swan mengingatkan sekaligus menantang setiap orang untuk menyikapi keyakinannya terhadap sesuatu, terhadap kepastian maupun ketidakpastian, secara arif.
Setiap orang dapat secara ekstrem bersikap kukuh pada keyakinannya dan menganggapnya sebagai satu-satunya kebenaran hingga terbukti sebaliknya. Atau, ia mengambil sikap yang berkebalikan, memilih posisi di ekstrem satunya untuk tidak meyakini sesuatu hingga kebenarannya dinyatakan.
Ada alternatif pilihan yang lebih moderat: jenis keyakinan yang ditawarkan oleh Ayu Utami dalam Bilangan Fu. Ia mengibaratkan keyakinan seperti misteri, yang wajib dipanggul oleh pemeluknya hingga kebenarannya dinyatakan sendiri oleh Yang Kuasa dengan cara dijatuhkan ke bumi.
Di satu sisi, sang pemeluk memilih untuk mau meyakini sesuatu, yang disimbolkan dengan memanggul keyakinan yang adalah misteri itu di pundaknya. Namun, alih-alih menyatakannya sebagai kebenaran tunggal baik untuk dirinya sendiri maupun bagi orang lain, yang dilambangkan dengan menjatuhkannya ke bumi, ia memilih untuk terus memanggulnya hingga kebenaran itu dinyatakan sendiri oleh Sang Pemilik Kebenaran.
Kapan kebenaran itu dinyatakan? Saya sendiri tidak tahu. Makanya, itu disebut misteri.
Seperti itukah iman yang kritis? Mungkin.
***
Comments
Post a Comment