Toyota Alphard
Kamis, 23 Juni 2011. Kira-kira pukul 12.00 WIB ketika saya membaca berita itu. Waktu yang terhitung ketinggalan untuk membaca berita, tapi belum cukup terlambat untuk mengetahui satu lagi contoh salah urus dalam pemerintahan di negeri Indonesia tercinta ini.
Tanpa ragu, saya berani mengatakan bahwa banyak orang yang siang itu (telah) membaca berita yang sama merasa tidak tahu ingin berkomentar apa. Barangkali mereka sudah terlampau jenuh, jengah, dan letih terhadap kabar semacam itu. Anda bebas menambahkan diri Anda sebagai bagian dari kelompok itu.
Namun, situasi bisa memburuk, yaitu ketika rakyat sudah bersikap masa bodoh. Padahal, saat rakyat sudah tak lagi peduli dengan cara pemerintahnya menjalankan kehidupan bernegara, seketika itu juga harapan akan kehidupan yang lebih baik mulai pupus. Saya sungguh tidak berharap Anda menempatkan diri ke dalam kelompok ini.
Pemicu semuanya itu adalah Rp. 14 miliar yang akan dianggarkan oleh Pemerintah Provinsi Jambi dalam APBD Perubahan 2011 untuk membeli “mobil penyambutan” (“Pejabat Hanya Mau Mobil Mewah”, KOMPAS, 23/6). Uang sebanyak itu akan dipakai untuk membeli mobil yang akan digunakan untuk menyambut (biar saya perjelas: mengangkut) para pejabat pusat yang berkunjung(an) (kerja) ke Jambi.
“Baru sebatas usul”, yang berkepentingan kelak akan berkilah. Tapi langkah itu sudah menunjukkan niat, dan sesuatu yang akhirnya menjadi kenyataan seringkali berawal dari niat.
Bagaimanapun, mari mencoba berempati terhadap para pemimpin provinsi itu.
Al Haris merupakan Kepala Biro Umum Pemerintah Provinsi. Pekerjaannya tentu seabrek. Salah satunya termasuk menyewa Toyota Alphard bagi setiap pejabat pusat dalam setiap kunjungan mereka ke Jambi. Semakin banyak pejabat pusat yang datang, dan makin sering kunjungan serta makin lama durasinya, maka semakin berkurang anggaran yang dapat dialokasikan bagi perbaikan kesejahteraan rakyat karena dipakai untuk membiayai sewa kendaraan mewah agar pejabat bisa berwira-wiri dengan nyaman.
Tapi kenapa Alphard? Padahal, Pemerintah Jambi sudah memiliki Toyota Land Cruiser dan Mitsubishi Pajero. Kata Al Haris, mereka dari pusat umumnya tidak mau naik mobil itu. Maunya Alphard.
Izinkan saya lagi-lagi memperjelas: pejabat dari pusat mau naik Alphard, bukan Land Cruiser atau Pajero.
Maka, entah dengan logika apa kenyataan tersebut dicerna oleh Pemerintah Jambi, alasan yang kemudian muncul untuk membenarkan pembelian itu adalah supaya Pemerintah Provinsi memiliki mobil yang memadai dan nyaman untuk menyambut para pejabat pusat dan luar negeri.
Halo, masyarakat! Ternyata Land Cruiser dan Pajero tidak memadai dan nyaman bagi sebagian pejabat! Saya jamin, pikiran siapapun yang peduli terhadap masalah ini akan dihantui oleh ukuran tentang “memadai dan nyaman” itu.
Soal “memadai dan nyaman” hanya salah satu dari banyak kemungkinan yang dapat dipakai sebagai alasan bagi pembelian itu. Tapi perkara yang utama adalah kepantasan dan rasionalitas dalam memunculkan dan menjustifikasi suatu kebutuhan, yang dalam hal ini pemenuhannya menggunakan biaya besar yang melibatkan hajat hidup orang banyak, bukan segelintir elite.
Rp. 14 miliar bukan jumlah yang sedikit bagi Provinsi yang berpendapatan lebih-kurang Rp. 1,4 triliun. Itu seperseratusnya pendapatan tahun ini dari daerah yang sedang memerlukan perbaikan besar-besaran dan segera di berbagai bidang.
Infrastruktur yang buruk, terutama jalan, adalah salah satu yang mendesak untuk dibenahi di Jambi. Biaya untuk perbaikan jalan itu saja bisa menghabiskan seluruh pendapatan Jambi. Beruntung, tanggung jawab itu dibagi dengan pemerintah pusat. Mungkinkah para pejabat yang terhormat merasakan ironi manakala mengendarai Alphard melewati jalanan yang berlubang?
Para petinggi Pemerintah Provinsi Jambi harus membuka hatinya. Masyarakat membutuhkan pembangunan, bukan Toyota Alphard. Dan pembangunan memerlukan uang.
Jangan dilupakan bahwa dalam setiap rupiah pendapatan daerah, ada andil dan, pada gilirannya, hak masyarakat Jambi. Ada andil dan hak dari mereka yang memandang harga dirinya dari setiap tetes keringat yang tercurah demi penghidupan, dari setiap karya yang dihasilkan untuk masyarakat, atau setidaknya untuk istri/suami dan anak-anak. Andil dan hak dari mereka yang baru merasa pantas menikmati hasil setelah terlebih dulu bekerja.
Orang-orang berkarakter seperti itu akan merasa jijik terhadap mereka yang belum berjerih payah, tapi tak malu meminta hasil. Lebih-lebih lagi terhadap mereka yang harga dirinya hanya senilai Toyota Alphard, atau mereka yang percaya bahwa harga diri seseorang diukur dari itu.
***
Tanpa ragu, saya berani mengatakan bahwa banyak orang yang siang itu (telah) membaca berita yang sama merasa tidak tahu ingin berkomentar apa. Barangkali mereka sudah terlampau jenuh, jengah, dan letih terhadap kabar semacam itu. Anda bebas menambahkan diri Anda sebagai bagian dari kelompok itu.
Namun, situasi bisa memburuk, yaitu ketika rakyat sudah bersikap masa bodoh. Padahal, saat rakyat sudah tak lagi peduli dengan cara pemerintahnya menjalankan kehidupan bernegara, seketika itu juga harapan akan kehidupan yang lebih baik mulai pupus. Saya sungguh tidak berharap Anda menempatkan diri ke dalam kelompok ini.
Pemicu semuanya itu adalah Rp. 14 miliar yang akan dianggarkan oleh Pemerintah Provinsi Jambi dalam APBD Perubahan 2011 untuk membeli “mobil penyambutan” (“Pejabat Hanya Mau Mobil Mewah”, KOMPAS, 23/6). Uang sebanyak itu akan dipakai untuk membeli mobil yang akan digunakan untuk menyambut (biar saya perjelas: mengangkut) para pejabat pusat yang berkunjung(an) (kerja) ke Jambi.
“Baru sebatas usul”, yang berkepentingan kelak akan berkilah. Tapi langkah itu sudah menunjukkan niat, dan sesuatu yang akhirnya menjadi kenyataan seringkali berawal dari niat.
Bagaimanapun, mari mencoba berempati terhadap para pemimpin provinsi itu.
Al Haris merupakan Kepala Biro Umum Pemerintah Provinsi. Pekerjaannya tentu seabrek. Salah satunya termasuk menyewa Toyota Alphard bagi setiap pejabat pusat dalam setiap kunjungan mereka ke Jambi. Semakin banyak pejabat pusat yang datang, dan makin sering kunjungan serta makin lama durasinya, maka semakin berkurang anggaran yang dapat dialokasikan bagi perbaikan kesejahteraan rakyat karena dipakai untuk membiayai sewa kendaraan mewah agar pejabat bisa berwira-wiri dengan nyaman.
Tapi kenapa Alphard? Padahal, Pemerintah Jambi sudah memiliki Toyota Land Cruiser dan Mitsubishi Pajero. Kata Al Haris, mereka dari pusat umumnya tidak mau naik mobil itu. Maunya Alphard.
Izinkan saya lagi-lagi memperjelas: pejabat dari pusat mau naik Alphard, bukan Land Cruiser atau Pajero.
Maka, entah dengan logika apa kenyataan tersebut dicerna oleh Pemerintah Jambi, alasan yang kemudian muncul untuk membenarkan pembelian itu adalah supaya Pemerintah Provinsi memiliki mobil yang memadai dan nyaman untuk menyambut para pejabat pusat dan luar negeri.
Halo, masyarakat! Ternyata Land Cruiser dan Pajero tidak memadai dan nyaman bagi sebagian pejabat! Saya jamin, pikiran siapapun yang peduli terhadap masalah ini akan dihantui oleh ukuran tentang “memadai dan nyaman” itu.
Soal “memadai dan nyaman” hanya salah satu dari banyak kemungkinan yang dapat dipakai sebagai alasan bagi pembelian itu. Tapi perkara yang utama adalah kepantasan dan rasionalitas dalam memunculkan dan menjustifikasi suatu kebutuhan, yang dalam hal ini pemenuhannya menggunakan biaya besar yang melibatkan hajat hidup orang banyak, bukan segelintir elite.
Rp. 14 miliar bukan jumlah yang sedikit bagi Provinsi yang berpendapatan lebih-kurang Rp. 1,4 triliun. Itu seperseratusnya pendapatan tahun ini dari daerah yang sedang memerlukan perbaikan besar-besaran dan segera di berbagai bidang.
Infrastruktur yang buruk, terutama jalan, adalah salah satu yang mendesak untuk dibenahi di Jambi. Biaya untuk perbaikan jalan itu saja bisa menghabiskan seluruh pendapatan Jambi. Beruntung, tanggung jawab itu dibagi dengan pemerintah pusat. Mungkinkah para pejabat yang terhormat merasakan ironi manakala mengendarai Alphard melewati jalanan yang berlubang?
Para petinggi Pemerintah Provinsi Jambi harus membuka hatinya. Masyarakat membutuhkan pembangunan, bukan Toyota Alphard. Dan pembangunan memerlukan uang.
Jangan dilupakan bahwa dalam setiap rupiah pendapatan daerah, ada andil dan, pada gilirannya, hak masyarakat Jambi. Ada andil dan hak dari mereka yang memandang harga dirinya dari setiap tetes keringat yang tercurah demi penghidupan, dari setiap karya yang dihasilkan untuk masyarakat, atau setidaknya untuk istri/suami dan anak-anak. Andil dan hak dari mereka yang baru merasa pantas menikmati hasil setelah terlebih dulu bekerja.
Orang-orang berkarakter seperti itu akan merasa jijik terhadap mereka yang belum berjerih payah, tapi tak malu meminta hasil. Lebih-lebih lagi terhadap mereka yang harga dirinya hanya senilai Toyota Alphard, atau mereka yang percaya bahwa harga diri seseorang diukur dari itu.
***
Comments
Post a Comment