Senin malam, 20 Februari 2012

      Sore tadi, hari pertama kuliah magister hukum bisnis di Universitas Indonesia dimulai. Sedianya, para peserta akan mengikuti mata kuliah Hukum Perbankan dan Lembaga Keuangan Lainnya dan Filsafat Hukum Ekonomi. Namun, karena pengajar mata kuliah Filsafat Hukum Ekonomi, yaitu Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., Ph.D., sedang berada di luar kota, maka perkuliahan Filsafat Hukum Ekonomi pada hari itu ditiadakan.
      Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M., mantan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, hadir sore itu untuk mengajar mata kuliah Hukum Perbankan dan Lembaga Keuangan. Seperti umumnya kuliah perdana, beliau memberikan perkenalan dan kemudian menjelaskan mengenai tata tertib perkuliahan, silabus, dan tetek-bengek lainnya.
      Salah satu hal unik yang terjadi saat itu. Ketika membicarakan mengenai ujian, baik ujian tengah semester maupun ujian akhir semester, Dr. Yunus Husein memberikan tiga pilihan model ujian akhir semester kepada para mahasiswa dan lalu mempersilakan kami mengambil suara (voting) untuk menentukan itu. Model ujian berupa mengerjakan paper (sedikitnya sebanyak 25 halaman dan disertai dengan pernyataan keaslian) menyisihkan pilihan lainnya, yaitu ujian open-book dan ujian open-book ditambah paper.
      Masih ketika menjelaskan mengenai tata tertib perkuliahan, Dr. Yunus Husein mengucapkan pernyataan yang terpatri dalam ingatan saya. Lebih-kurang, beliau mengatakan kepada kami semua bahwa kami ada di situ “untuk mencari ilmu, bukan mencari absen”. Meski demikian, itu sama sekali tidak berarti bahwa beliau menyepelekan absen. Integritas beliau sedikit-banyak juga dapat diraba dari kebijakannya tentang keterlambatan. Namun, saya tak hendak membahasnya lebih jauh. Sekarang, mari membahas perkuliahan di hari pertama.
      Salah seorang mahasiswa menanyakan tujuan perkuliahan Hukum Perbankan dan Lembaga Keuangan Lainnya. Dr. Yunus Husein menjawabnya dengan tanggapan yang, bagi saya, reflektif. Beliau mengatakan bahwa pada level sarjana, para mahasiswa diajarkan untuk mengetahui hukum. Namun, di level magister, setiap mahasiswa mulai mendalami konsep-konsep yang mendasari berbagai aspek dari subjek yang dibahas dalam setiap mata kuliah. Dengan kata lain, melalui perkuliahan Hukum Perbankan dan Lembaga Keuangan Lainnya, para mahasiswa diajak (dan, bagi saya pribadi, juga dituntut) untuk mendalami berbagai konsep yang mendasari berbagai hal terkait perbankan dan lembaga keuangan lainnya, misalnya tentang keberadaan mereka dan alasan dari keberadaan itu.
      Materi kuliah dimulai dengan penyegaran ingatan. Dr. Yunus Husein mengajak para mahasiswa untuk merekoleksi situasi krisis moneter pada tahun 1998. Kala itu, bank-bank yang memiliki CAR (capital adequacy ratio, atau rasio kecukupan modal) antara 4%-25% memperoleh suntikan modal dari pemerintah. Itulah yang diistilahkan dengan rekapitalisasi. Pemerintah menghabiskan lebih dari Rp. 600 triliun uang rakyat dalam program rekapitalisasi itu. Setelah menjelaskan itu, Dr. Yunus Husein mengajukan pertanyaan penting: mengapa pemerintah mau melakukan hal itu?
      Setelah mendengar jawaban-jawaban Dr. Yunus Husein dan kesimpulannya terhadap jawaban-jawaban sejumlah mahasiswa, saya meyakini bahwa beliau mengajukan pertanyaan tersebut kepada agar kami memperoleh gambaran perihal pentingnya kedudukan dan fungsi perbankan dalam perekonomian suatu negara.
      Mengapa pemerintah mau menggelontorkan lebih dari Rp. 600 triliun untuk merekapitalisasi bank-bank pada tahun 1998? Alasan pertama ialah karena besarnya nilai aset yang dimiliki perbankan di Indonesia dibandingkan dengan nilai perekonomian Indonesia itu sendiri. Saking besarnya, sempat ada pihak yang mengatakan bahwa perekonomian Indonesia adalah “bank-dominated economy”.
      Baik, mahasiswa menerima alasan aset itu. Tetapi ternyata alasan itu merupakan jalan menuju jawaban yang lebih pokok. Bagaimana bank bisa memperoleh aset sebanyak itu? Jawabannya tak lain karena bank merupakan intermediator keuangan: bank menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat. Itulah kedudukan sekaligus fungsi terpenting dari perbankan di manapun.
      Dari situ, diskusi bisa dibawa ke persoalan kaitan antara besaran nilai penyaluran kredit dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, pendapatan yang bisa diperoleh negara dari berbagai kegiatan ekonomi yang dirangsang oleh kredit dari perbankan, kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, moral hazard, dan sebagainya. Namun, telah menjadi jelas betapa pentingnya fungsi intermediasi yang dijalankan oleh perbankan bagi perekonomian suatu negara.
      Kembali ke krisis ekonomi, perbankan biasanya menjalankan “tight money policy” pada saat krisis terjadi. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa dengan kebijakan tersebut, bank lebih berhati-hati dalam mengeluarkan kredit. Salah satu indikator yang dapat dipakai untuk mengetahui hal itu adalah LDR (loan to deposit ratio, atau rasio kredit terhadap dana). Pada saat krisis, persentase LDR di bank-bank cenderung rendah.
      Ketika krisis ekonomi terjadi, pertumbuhan ekonomi melambat, stagnan, atau justru minus. Pada saat-saat seperti itu, seringkali banyak pihak, terutama dunia usaha dan pemerintah, mengharapkan agar perbankan lebih gencar mengeluarkan kredit. Tujuannya adalah untuk menciptakan stimulus bagi perekonomian agar tumbuh. Namun, karena sifatnya sebagaimana disebut dalam paragraf sebelumnya, tight money policy justru dipandang kontraproduktif bagi upaya pemulihan perekonomian dari krisis. Dari sudut pandang bank, kebijakan itu memang dirasa perlu. Namun, sebaiknya tight money policy tidak dilakukan dalam periode yang terlalu lama.
      Mari kembali ke alasan pemerintah dalam melakukan rekapitalisasi pada tahun 1998. Sebagaimana diketahui umum, perdagangan merupakan salah satu urat nadi perekonomian suatu bangsa. Dalam perdagangan, pembayaran menjadi bagian yang tak terpisahkan. Bahkan, bisa dikatakan tidak akan ada perdagangan tanpa pembayaran. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, perbankan merupakan pelaku utama dalam sistem pembayaran dalam perdagangan. Sulit rasanya membayangkan perdagangan pada masa kini tanpa kehadiran perbankan.
      Alasan lain yang dapat menggambarkan pentingnya kedudukan perbankan adalah karena perbankan merupakan sarana transmisi kebijakan moneter dari suatu negara. Kebijakan moneter adalah wewenang otoritas moneter, dalam hal ini Bank Indonesia. Tujuan dari setiap kebijakan moneter adalah untuk menjaga kestabilan nilai tukar mata uang. Instrumen pokok untuk itu pada umumnya adalah dengan mengatur tingkat suku bunga dan menjaga jumlah mata uang yang beredar di masyarakat; dua hal yang amat terkait dengan kegiatan perbankan. Karena kenyataan itu, Bank Indonesia amat membutuhkan perbankan yang sehat agar dapat menjalankan kebijakan moneter secara tepat sasaran dan efektif.


***

Comments

Popular Posts