Pola asuh orang tua dapat membawa pengaruh baik, atau sebaliknya, dampak buruk bagi perkembangan psikologi anak dalam masa pertumbuhannya. Anak yang telah terkena dampak buruk dari pola asuh itu akan membawa dan mengembangkannya lewat kesehariannya menjadi suatu kebiasaan, yang kemudian akan, seringkali tanpa disadarinya, diterapkannya terhadap orang-orang di sekitarnya.
Salah satu contoh pola asuh orang tua yang membawa dampak buruk bagi anak adalah melarang anaknya untuk melakukan hal-hal yang sewajarnya diinginkannya. Larangan itu dimunculkan dengan berbagai alasan, misalnya membahayakan, merugikan, dan tidak aman untuk diri si anak (orang dewasa umumnya berciri khas memerlukan rasionalisasi atas segala sesuatu [saya menyadari dan mengakui bahwa tulisan ini merupakan salah satu bentuk rasionalisasi itu]). Seringkali alasan-alasan tadi tidak didasarkan pada kenyataan dan justru bukan difokuskan pada kondisi dan situasi si anak (baik secara fisik, mental, emosional, dan sosial), melainkan lebih terkait dengan kepentingan orang tua (yang juga memiliki dimensi mental, emosional, maupun sosial).
Pernahkah anda, sebagai anak, merasakan bahwa orang tua anda merasakan kelegaan dari ketakutannya dan memperoleh pembenarannya atas alasan-alasannya ketika mereka melarang anda melakukan sesuatu yang tidak mereka kehendaki?
Orang tua yang baik, menurut saya, adalah orang tua yang membebaskan anaknya untuk melakukan apapun yang sewajarnya dikehendakinya, sehingga dengan demikian memberikan kesempatan bagi sang anak untuk mengalami salah satu harta karun paling berharga yang dimiliki manusia: kebebasan. Dalam tindakan orang tua yang baik itu, termuat dua dimensi: tanggung jawab dan kepercayaan.
Orang tua yang baik membebaskan anaknya untuk melakukan hal yang diinginkannya. Justru dengan membebaskan anaknya itu, orang tua diberi kesempatan untuk bertanggung jawab atas penggunaan kebebasan yang telah diberikan kepada anaknya (tentu sang anak akan memiliki porsi tanggung jawabnya sendiri atas kebebasannya itu, kelak).
Orang tua yang membebaskan anaknya untuk belajar berjalan, bertanggung jawab dengan cara mengawasinya, mengikutinya ke mana ia pergi, dan senantiasa memastikan keselamatan dan keamanannya. Segala kerepotan itu menggenapi kodrat orang tua dalam membesarkan anak: mau bersusah payah demi perkembangan anak, layaknya petani mau bersusah payah memupuki, menyirami, dan memelihara tanamannya hingga ia tumbuh besar dan menghasilkan buah.
Orang tua yang buruk, menurutku, justru tidak menjalankan tanggung jawabnya meskipun seolah-olah merasa memilikinya. Orang tua yang melarang anaknya bersepeda karena takut ditabrak orang atau karena tidak yakin akan kemampuannya seolah-olah merasakan tanggung jawab terhadap anaknya itu, sehingga untuk memastikan keselamatannya, mereka melarang anaknya bersepeda. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah orang tua itu menjadi sama sekali tidak bertanggung jawab.
Coba pikirkan, orang tua tersebut mau bertanggung jawab atas apa kalau anaknya tidak boleh melakukan apapun, tidak belajar berjalan, bersepeda, naik gunung, dan sebagainya, karena mereka melarangnya melakukan itu semua? Sementara di pihak anak, situasinya sudah jelas: kebebasannya terenggut. Ia tidak dapat dengan begitu saja meluapkan rasa hatinya.
Dengan alasan demi kebaikan sang anak, yang terjadi sesungguhnya adalah orang tua berusaha membuat dirinya nyaman dan terhindar dari perasaan takut dan cemas apabila anaknya melakukan sesuatu yang tidak mereka kehendaki berdasarkan alasan-alasan mereka. Anak akhirnya menjadi korban ketidakmampuan orang tua dalam mengelola pemikiran dan perasaannya. Kebebasan anak direnggut oleh subjektivitas orang tua.
Dimensi lainnya adalah kepercayaan. Anda boleh menyebutnya dengan istilah lain: keyakinan, keberanian. Kepercayaan berkaitan dengan cara memandang diri sebagai makhluk yang berharga dan telah diberikan banyak anugerah oleh Pencipta.
Selamilah perasaan anda dalam-dalam sebagai manusia. Apakah anda merasakan kebutuhan yang sangat dalam untuk dipercayai oleh orang lain, keinginan agar orang menaruh keyakinan pada anda? Apakah anda memerlukan kepercayaan dari setiap orang yang anda temui dalam menjalani hidup anda?
Orang tua yang baik, menurut saya, adalah mereka yang memiliki kepercayaan akan hidup. Mereka menyadari hidup sebagai sesuatu yang bermakna karena kebebasan yang melekat pada hidup itu. Hidup tanpa kebebasan adalah sebaliknya: tidak bermakna. Karena itu, mereka yang meyakini kehidupan juga mempercayai kebebasan.
Dalam memandang anak dan kehidupannya, orang tua yang baik bersikap percaya sepenuhnya: bahwa kehidupannya akan menjadi kehidupan yang baik; bahwa ia akan selamat; bahwa ia akan baik-baik saja; bahwa semua harapan dapat diwujudkan. Karena keyakinan itulah, yang muncul dari diri orang tua terhadap anaknya adalah harapan, bukan ketidakpastian; keberserahan, bukan keputusasaan. Orang tua yang buruk, menurut saya, memandang kehidupan dengan cara sebaliknya, dengan pesimisme. Kehidupan anaknya dilihatnya dengan keraguan, yang hanya akan menciptakan ketidakpastian dan berujung pada keputusasaan.
***
Salah satu contoh pola asuh orang tua yang membawa dampak buruk bagi anak adalah melarang anaknya untuk melakukan hal-hal yang sewajarnya diinginkannya. Larangan itu dimunculkan dengan berbagai alasan, misalnya membahayakan, merugikan, dan tidak aman untuk diri si anak (orang dewasa umumnya berciri khas memerlukan rasionalisasi atas segala sesuatu [saya menyadari dan mengakui bahwa tulisan ini merupakan salah satu bentuk rasionalisasi itu]). Seringkali alasan-alasan tadi tidak didasarkan pada kenyataan dan justru bukan difokuskan pada kondisi dan situasi si anak (baik secara fisik, mental, emosional, dan sosial), melainkan lebih terkait dengan kepentingan orang tua (yang juga memiliki dimensi mental, emosional, maupun sosial).
Pernahkah anda, sebagai anak, merasakan bahwa orang tua anda merasakan kelegaan dari ketakutannya dan memperoleh pembenarannya atas alasan-alasannya ketika mereka melarang anda melakukan sesuatu yang tidak mereka kehendaki?
Orang tua yang baik, menurut saya, adalah orang tua yang membebaskan anaknya untuk melakukan apapun yang sewajarnya dikehendakinya, sehingga dengan demikian memberikan kesempatan bagi sang anak untuk mengalami salah satu harta karun paling berharga yang dimiliki manusia: kebebasan. Dalam tindakan orang tua yang baik itu, termuat dua dimensi: tanggung jawab dan kepercayaan.
Orang tua yang baik membebaskan anaknya untuk melakukan hal yang diinginkannya. Justru dengan membebaskan anaknya itu, orang tua diberi kesempatan untuk bertanggung jawab atas penggunaan kebebasan yang telah diberikan kepada anaknya (tentu sang anak akan memiliki porsi tanggung jawabnya sendiri atas kebebasannya itu, kelak).
Orang tua yang membebaskan anaknya untuk belajar berjalan, bertanggung jawab dengan cara mengawasinya, mengikutinya ke mana ia pergi, dan senantiasa memastikan keselamatan dan keamanannya. Segala kerepotan itu menggenapi kodrat orang tua dalam membesarkan anak: mau bersusah payah demi perkembangan anak, layaknya petani mau bersusah payah memupuki, menyirami, dan memelihara tanamannya hingga ia tumbuh besar dan menghasilkan buah.
Orang tua yang buruk, menurutku, justru tidak menjalankan tanggung jawabnya meskipun seolah-olah merasa memilikinya. Orang tua yang melarang anaknya bersepeda karena takut ditabrak orang atau karena tidak yakin akan kemampuannya seolah-olah merasakan tanggung jawab terhadap anaknya itu, sehingga untuk memastikan keselamatannya, mereka melarang anaknya bersepeda. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah orang tua itu menjadi sama sekali tidak bertanggung jawab.
Coba pikirkan, orang tua tersebut mau bertanggung jawab atas apa kalau anaknya tidak boleh melakukan apapun, tidak belajar berjalan, bersepeda, naik gunung, dan sebagainya, karena mereka melarangnya melakukan itu semua? Sementara di pihak anak, situasinya sudah jelas: kebebasannya terenggut. Ia tidak dapat dengan begitu saja meluapkan rasa hatinya.
Dengan alasan demi kebaikan sang anak, yang terjadi sesungguhnya adalah orang tua berusaha membuat dirinya nyaman dan terhindar dari perasaan takut dan cemas apabila anaknya melakukan sesuatu yang tidak mereka kehendaki berdasarkan alasan-alasan mereka. Anak akhirnya menjadi korban ketidakmampuan orang tua dalam mengelola pemikiran dan perasaannya. Kebebasan anak direnggut oleh subjektivitas orang tua.
Dimensi lainnya adalah kepercayaan. Anda boleh menyebutnya dengan istilah lain: keyakinan, keberanian. Kepercayaan berkaitan dengan cara memandang diri sebagai makhluk yang berharga dan telah diberikan banyak anugerah oleh Pencipta.
Selamilah perasaan anda dalam-dalam sebagai manusia. Apakah anda merasakan kebutuhan yang sangat dalam untuk dipercayai oleh orang lain, keinginan agar orang menaruh keyakinan pada anda? Apakah anda memerlukan kepercayaan dari setiap orang yang anda temui dalam menjalani hidup anda?
Orang tua yang baik, menurut saya, adalah mereka yang memiliki kepercayaan akan hidup. Mereka menyadari hidup sebagai sesuatu yang bermakna karena kebebasan yang melekat pada hidup itu. Hidup tanpa kebebasan adalah sebaliknya: tidak bermakna. Karena itu, mereka yang meyakini kehidupan juga mempercayai kebebasan.
Dalam memandang anak dan kehidupannya, orang tua yang baik bersikap percaya sepenuhnya: bahwa kehidupannya akan menjadi kehidupan yang baik; bahwa ia akan selamat; bahwa ia akan baik-baik saja; bahwa semua harapan dapat diwujudkan. Karena keyakinan itulah, yang muncul dari diri orang tua terhadap anaknya adalah harapan, bukan ketidakpastian; keberserahan, bukan keputusasaan. Orang tua yang buruk, menurut saya, memandang kehidupan dengan cara sebaliknya, dengan pesimisme. Kehidupan anaknya dilihatnya dengan keraguan, yang hanya akan menciptakan ketidakpastian dan berujung pada keputusasaan.
***
Comments
Post a Comment