Seberapa sering anda dapat benar-benar merasakan kedamaian, ketenangan, atau ketenteraman dalam batin anda? Siapa di antara anda sekalian yang hati dan otaknya sering diganggu oleh berbagai perasaan dan pikiran, yang menurut anda datang pada saat yang tidak tepat, seperti misalnya disibukkan oleh pikiran tentang pekerjaan pada akhir pekan? Adakah di antara kita yang telah dapat benar-benar merasa bahagia?
Saya ingin memulainya dengan menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan saya itu: saya belum merasa bahagia dan damai, serta masih seringkali dikuasai oleh berbagai perasaan dan pikiran yang tak menentu, pada waktu yang tidak tepat, di tempat yang tidak menguntungkan.
Tapi saya memiliki berita baik: saya sudah (lama) menyadari situasi itu. Satu tahap krusial sudah dilewati; tahap berikutnya menunggu untuk dilampaui. Saya sudah "membuka mata", tersadar dari "tidur panjang", aware. Saatnya untuk "bangun dan beranjak".
Pencarian kebahagiaan boleh jadi merupakan agenda utama setiap manusia. Tetapi apabila setiap orang ditanyai mengenai apa yang membuatnya bahagia, atau apakah kebahagiaan itu menurutnya, kita tidak akan menemukan jawaban tunggal.
Anda mungkin memproyeksikan kebahagiaan dalam rupa mobil mewah, rumah megah, pasangan yang cantik atau tampan, pekerjaan yang menghasilkan banyak uang, popularitas.
Sebagian lainnya yang barangkali kesulitan menentukan wujud kebahagiaan memilih memahami kebahagiaan sebagai kebalikan dari setiap hal yang menurutnya merupakan ketidakbahagiaan. Contohnya, kalau seseorang menganggap sakit itu sebagai suatu ketidakbahagiaan, maka yang merupakan suatu kebahagiaan baginya adalah kalau ia sehat.
Banyak orang berusaha mencari tahu mengenai apa itu kebahagiaan. Ada yang mengusahakan pengetahuan itu dari teks-teks suci, seperti kitab keagamaan. Ada yang mencoba mengenali dan memahami setiap emosi dan pikirannya--berkomunikasi dengan diri sendiri--untuk mengetahui kebahagiaan dan ketidakbahagiaan secara personal. Ada pula yang berpegang pada pendapat para ilmuwan mengenai apa itu kebahagiaan.
Mengenai yang disebut terakhir, saya berkesempatan mengetahui dari internet mengenai seseorang bernama Matthieu Riccard. Lahir di Perancis sebagai anak dari seorang ayah yang merupakan filsuf terkenal di Perancis dan seorang ibu yang adalah pelukis abstrak, Riccard pernah menjalani hidup sebagai seorang ilmuwan brilian di bidang biologi, sebelum ia memutuskan untuk meninggalkan dunia itu dan menjadi seorang biksu puluhan tahun lamanya hingga kini.
Riccard pernah dijuluki "orang paling bahagia di dunia" oleh sejumlah media massa. Julukan itu lahir setelah dirinya ambil bagian dalam sebuah studi yang diadakan oleh Richard Davidson, seorang pakar ilmu syaraf kaliber dunia, di University of Wisconsin-Madison.
Davidson saat itu meneliti tentang emosi-emosi yang berkaitan dengan kebahagiaan dan ketidakbahagiaan. Menurutnya, otak manusia terus berkembang dengan merespons berbagai pengalaman dalam hidup, baik yang bersifat positif maupun negatif. Dari situ, menjadi jelas bagi kita bahwa kebahagiaan dalam definisi Davidson terkait dengan emosi-emosi positif.
Dalam studi yang digagas Davidson itu, Riccard menjadi salah seorang dari ratusan sukarelawan yang rela tulang-tulangnya dipasangi ratusan sensor dan menjalani scanning MRI selama tiga jam terus-menerus. Faktanya, dari range skor +0,3 (emosi negatif) sampai dengan -0,3 (emosi positif), Riccard mencatat skor -0,45 yang merupakan skor tertinggi di antara para sukarelawan.
Lantas, bagaimana Riccard--si manusia paling bahagia sedunia--memahami kebahagiaan?
Menurut Riccard, kebahagiaan adalah perasaan mendalam terkait kebersyukuran. Perasaan mendalam semacam itu tidak dapat ditemukan dalam kesenangan-kesenangan yang cepat berlalu, seperti rasa senang atau puas yang muncul sehabis berhubungan seks, setelah tim sepakbola kesayangan memenangkan suatu kejuaraan, maupun seusai menonton konser musik penyanyi favorit.
Lalu, di mana kebahagiaan yang bertahan lama dapat kita temukan? Riccard berpendapat bahwa kebahagiaan yang bertahan lama bersumber dari kedalaman jati diri seseorang. Itu adalah jenis kebahagiaan yang tidak akan bisa direnggut oleh siapapun maupun pengalaman sepahit apapun. Happiness that endures, not the transient.
Riccard juga bertutur mengenai sifat lain dari kebahagiaan, selain karakternya yang kekal. Menurutnya, kebahagiaan bukanlah suatu perasaan yang berfokus pada kepentingan pribadi, melainkan suatu perasaan ke-satu-rasa-an (compassion) terhadap orang lain. Dan kebahagiaan tidak mungkin diraih apabila kita masih mempertahankan atau memberi peluang bagi munculnya "racun-racun mental" maupun "emosi-emosi yang merusak" seperti kemelekatan, pengabaian, kebencian, dendam.
Saya sendiri memiliki pemahaman pribadi tentang kebahagiaan. Beranjak dari pengalaman, saya memercayai bahwa sesuatu yang merupakan kebahagiaan sama sekali tidak dapat dilupakan. Kapanpun kita ingin mengingat kembali pengalaman yang membawa kebahagiaan itu, kita selalu dapat melakukannya, bahkan setelah belasan tahun. Dan setiap kali kita melakukan itu, secara serta-merta kita mengalami kembali rasa bahagia dan kepenuhan dalam kualitas yang lebih-kurang tetap.
Anda mungkin berpikir, demikian pula halnya dengan ketidakbahagiaan. Yang disebut belakangan seringkali juga tidak dapat, atau setidaknya sulit, dilupakan. Tetapi kita selalu dapat membedakan dengan jelas keduanya: kebahagiaan dan ketidakbahagiaan. Namun, apabila kita membandingkan "kebahagiaan"--yang tidak dapat dilupakan itu--dengan jenis kebahagiaan yang bersifat sementara sebagaimana disinggung di atas--jenis kebahagiaan yang beberapa minggu kemudian sudah tidak lagi kita ingat, maka mungkin kita bisa menyepakati pemahaman saya itu.
Kini, kembali ke Riccard. Pertanyaannya kemudian adalah: bagaimana ia mencapai tingkatan kebahagiaan seperti yang dibicarakannya itu? Jawabannya adalah melalui meditasi. Kenyataannya, para sukarelawan yang memperoleh skor negatif adalah mereka yang telah menjalani puluhan ribu jam meditasi, meski berasal dari beragam latar belakang.
Menurut Riccard, meditasi berarti latihan pikiran (mind training). Melalui meditasi, seseorang berusaha untuk membiasakan dirinya dengan pikiran maupun perasaannya. Tujuannya adalah untuk mengatasi, menguasai, dan mengarahkan pikiran dan perasaan itu ke arah yang menguntungkan, dan bukan sebaliknya, justru menjadikan diri kita dikuasai dan diarahkan olehnya. Tujuannya adalah mentransformasi cara pandang kita terhadap kenyataan. Tujuannya adalah menjadi diri kita yang merdeka; merdeka dari kekuasaan pikiran dan perasaan.
Meraih kebahagiaan melalui meditasi bukanlah kerja sehari. Itu memerlukan proses yang panjang. Sebagaimana disinggung di atas, para sukarelawan yang memperoleh skor yang baik telah melewati puluhan ribu jam meditasi. Silakan konversi sendiri ke dalam hitungan tahun.
Mengetahui bahwa proses pencarian itu memerlukan waktu yang panjang, yang terpenting adalah segera mempelajarinya dari sosok maupun sumber yang terpercaya dan memulainya. Dan karena hal-hal seperti ini merupakan sebuah pencarian pribadi, maka anda harus menjalani, mengikuti, dan mengalami sendiri seluruh prosesnya. Anda tidak mungkin meng-install sensasi atau pengalaman orang lain.
Saya telah mencobanya, namun tidak secara rutin. Sungguh dibutuhkan kerja keras dan konsistensi untuk itu. Setiap kali saya mempraktikkannya, selalu saja saya harus "berperang" dengan koloni perasaan, dan terutama pikiran. Alhasil, meskipun selalu terjadi dalam suasana sunyi, dalam meditasi saya justru merasa bising. Jadi, tidak seperti syair sebuah lagu dari band Dewa 19; bagi saya, "di dalam kesunyian, aku masih merasa bising ... sendiri, memikirkan pikiran-pikiranku".
***
Saya ingin memulainya dengan menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan saya itu: saya belum merasa bahagia dan damai, serta masih seringkali dikuasai oleh berbagai perasaan dan pikiran yang tak menentu, pada waktu yang tidak tepat, di tempat yang tidak menguntungkan.
Tapi saya memiliki berita baik: saya sudah (lama) menyadari situasi itu. Satu tahap krusial sudah dilewati; tahap berikutnya menunggu untuk dilampaui. Saya sudah "membuka mata", tersadar dari "tidur panjang", aware. Saatnya untuk "bangun dan beranjak".
Pencarian kebahagiaan boleh jadi merupakan agenda utama setiap manusia. Tetapi apabila setiap orang ditanyai mengenai apa yang membuatnya bahagia, atau apakah kebahagiaan itu menurutnya, kita tidak akan menemukan jawaban tunggal.
Anda mungkin memproyeksikan kebahagiaan dalam rupa mobil mewah, rumah megah, pasangan yang cantik atau tampan, pekerjaan yang menghasilkan banyak uang, popularitas.
Sebagian lainnya yang barangkali kesulitan menentukan wujud kebahagiaan memilih memahami kebahagiaan sebagai kebalikan dari setiap hal yang menurutnya merupakan ketidakbahagiaan. Contohnya, kalau seseorang menganggap sakit itu sebagai suatu ketidakbahagiaan, maka yang merupakan suatu kebahagiaan baginya adalah kalau ia sehat.
Banyak orang berusaha mencari tahu mengenai apa itu kebahagiaan. Ada yang mengusahakan pengetahuan itu dari teks-teks suci, seperti kitab keagamaan. Ada yang mencoba mengenali dan memahami setiap emosi dan pikirannya--berkomunikasi dengan diri sendiri--untuk mengetahui kebahagiaan dan ketidakbahagiaan secara personal. Ada pula yang berpegang pada pendapat para ilmuwan mengenai apa itu kebahagiaan.
Mengenai yang disebut terakhir, saya berkesempatan mengetahui dari internet mengenai seseorang bernama Matthieu Riccard. Lahir di Perancis sebagai anak dari seorang ayah yang merupakan filsuf terkenal di Perancis dan seorang ibu yang adalah pelukis abstrak, Riccard pernah menjalani hidup sebagai seorang ilmuwan brilian di bidang biologi, sebelum ia memutuskan untuk meninggalkan dunia itu dan menjadi seorang biksu puluhan tahun lamanya hingga kini.
Riccard pernah dijuluki "orang paling bahagia di dunia" oleh sejumlah media massa. Julukan itu lahir setelah dirinya ambil bagian dalam sebuah studi yang diadakan oleh Richard Davidson, seorang pakar ilmu syaraf kaliber dunia, di University of Wisconsin-Madison.
Davidson saat itu meneliti tentang emosi-emosi yang berkaitan dengan kebahagiaan dan ketidakbahagiaan. Menurutnya, otak manusia terus berkembang dengan merespons berbagai pengalaman dalam hidup, baik yang bersifat positif maupun negatif. Dari situ, menjadi jelas bagi kita bahwa kebahagiaan dalam definisi Davidson terkait dengan emosi-emosi positif.
Dalam studi yang digagas Davidson itu, Riccard menjadi salah seorang dari ratusan sukarelawan yang rela tulang-tulangnya dipasangi ratusan sensor dan menjalani scanning MRI selama tiga jam terus-menerus. Faktanya, dari range skor +0,3 (emosi negatif) sampai dengan -0,3 (emosi positif), Riccard mencatat skor -0,45 yang merupakan skor tertinggi di antara para sukarelawan.
Lantas, bagaimana Riccard--si manusia paling bahagia sedunia--memahami kebahagiaan?
Menurut Riccard, kebahagiaan adalah perasaan mendalam terkait kebersyukuran. Perasaan mendalam semacam itu tidak dapat ditemukan dalam kesenangan-kesenangan yang cepat berlalu, seperti rasa senang atau puas yang muncul sehabis berhubungan seks, setelah tim sepakbola kesayangan memenangkan suatu kejuaraan, maupun seusai menonton konser musik penyanyi favorit.
Lalu, di mana kebahagiaan yang bertahan lama dapat kita temukan? Riccard berpendapat bahwa kebahagiaan yang bertahan lama bersumber dari kedalaman jati diri seseorang. Itu adalah jenis kebahagiaan yang tidak akan bisa direnggut oleh siapapun maupun pengalaman sepahit apapun. Happiness that endures, not the transient.
Riccard juga bertutur mengenai sifat lain dari kebahagiaan, selain karakternya yang kekal. Menurutnya, kebahagiaan bukanlah suatu perasaan yang berfokus pada kepentingan pribadi, melainkan suatu perasaan ke-satu-rasa-an (compassion) terhadap orang lain. Dan kebahagiaan tidak mungkin diraih apabila kita masih mempertahankan atau memberi peluang bagi munculnya "racun-racun mental" maupun "emosi-emosi yang merusak" seperti kemelekatan, pengabaian, kebencian, dendam.
Saya sendiri memiliki pemahaman pribadi tentang kebahagiaan. Beranjak dari pengalaman, saya memercayai bahwa sesuatu yang merupakan kebahagiaan sama sekali tidak dapat dilupakan. Kapanpun kita ingin mengingat kembali pengalaman yang membawa kebahagiaan itu, kita selalu dapat melakukannya, bahkan setelah belasan tahun. Dan setiap kali kita melakukan itu, secara serta-merta kita mengalami kembali rasa bahagia dan kepenuhan dalam kualitas yang lebih-kurang tetap.
Anda mungkin berpikir, demikian pula halnya dengan ketidakbahagiaan. Yang disebut belakangan seringkali juga tidak dapat, atau setidaknya sulit, dilupakan. Tetapi kita selalu dapat membedakan dengan jelas keduanya: kebahagiaan dan ketidakbahagiaan. Namun, apabila kita membandingkan "kebahagiaan"--yang tidak dapat dilupakan itu--dengan jenis kebahagiaan yang bersifat sementara sebagaimana disinggung di atas--jenis kebahagiaan yang beberapa minggu kemudian sudah tidak lagi kita ingat, maka mungkin kita bisa menyepakati pemahaman saya itu.
Kini, kembali ke Riccard. Pertanyaannya kemudian adalah: bagaimana ia mencapai tingkatan kebahagiaan seperti yang dibicarakannya itu? Jawabannya adalah melalui meditasi. Kenyataannya, para sukarelawan yang memperoleh skor negatif adalah mereka yang telah menjalani puluhan ribu jam meditasi, meski berasal dari beragam latar belakang.
Menurut Riccard, meditasi berarti latihan pikiran (mind training). Melalui meditasi, seseorang berusaha untuk membiasakan dirinya dengan pikiran maupun perasaannya. Tujuannya adalah untuk mengatasi, menguasai, dan mengarahkan pikiran dan perasaan itu ke arah yang menguntungkan, dan bukan sebaliknya, justru menjadikan diri kita dikuasai dan diarahkan olehnya. Tujuannya adalah mentransformasi cara pandang kita terhadap kenyataan. Tujuannya adalah menjadi diri kita yang merdeka; merdeka dari kekuasaan pikiran dan perasaan.
Meraih kebahagiaan melalui meditasi bukanlah kerja sehari. Itu memerlukan proses yang panjang. Sebagaimana disinggung di atas, para sukarelawan yang memperoleh skor yang baik telah melewati puluhan ribu jam meditasi. Silakan konversi sendiri ke dalam hitungan tahun.
Mengetahui bahwa proses pencarian itu memerlukan waktu yang panjang, yang terpenting adalah segera mempelajarinya dari sosok maupun sumber yang terpercaya dan memulainya. Dan karena hal-hal seperti ini merupakan sebuah pencarian pribadi, maka anda harus menjalani, mengikuti, dan mengalami sendiri seluruh prosesnya. Anda tidak mungkin meng-install sensasi atau pengalaman orang lain.
Saya telah mencobanya, namun tidak secara rutin. Sungguh dibutuhkan kerja keras dan konsistensi untuk itu. Setiap kali saya mempraktikkannya, selalu saja saya harus "berperang" dengan koloni perasaan, dan terutama pikiran. Alhasil, meskipun selalu terjadi dalam suasana sunyi, dalam meditasi saya justru merasa bising. Jadi, tidak seperti syair sebuah lagu dari band Dewa 19; bagi saya, "di dalam kesunyian, aku masih merasa bising ... sendiri, memikirkan pikiran-pikiranku".
***
Comments
Post a Comment