Ada fakta menarik dari kisah Santiago pada artikel sebelumnya yang tidak bisa dan tidak boleh diabaikan. Itu adalah fakta mengenai betapa terpuruknya kondisi Santiago saat itu, suatu kondisi nyaris tanpa harapan yang "memaksanya" untuk "mau tidak mau" mencoba berpaling kepada Tuhan.
Poin yang hendak ditekankan di sini ialah bahwa berkat Tuhan juga (dan justru) datang pada saat-saat paling kelam dalam hidup. Tentu, itu mungkin terjadi apabila si penerima berkat bersedia membuka dirinya terhadap "kekuatan" lain yang lebih tinggi dan berkuasa dari kekuatan manusiawinya.
Anda barangkali tidak mempercayai poin itu. Pertanyaan semacam "bagaimana mungkin Tuhan mau membantu orang yang hampir kehilangan harapan? bagaimana orang yang memiliki kadar keyakinan yang rendah bisa memperoleh anugerah?" mungkin menggelayuti pikiran anda yang tidak meyakini poin yang dibicarakan di sini.
Poin yang hendak ditekankan di sini ialah bahwa berkat Tuhan juga (dan justru) datang pada saat-saat paling kelam dalam hidup. Tentu, itu mungkin terjadi apabila si penerima berkat bersedia membuka dirinya terhadap "kekuatan" lain yang lebih tinggi dan berkuasa dari kekuatan manusiawinya.
Anda barangkali tidak mempercayai poin itu. Pertanyaan semacam "bagaimana mungkin Tuhan mau membantu orang yang hampir kehilangan harapan? bagaimana orang yang memiliki kadar keyakinan yang rendah bisa memperoleh anugerah?" mungkin menggelayuti pikiran anda yang tidak meyakini poin yang dibicarakan di sini.
Pertanyaan semacam itu bagus. Keraguan bukanlah sesuatu yang jahat apabila anda dapat memandangnya secara tepat. Keraguan justru dapat semakin mempertebal keyakinan anda, sepanjang anda pada akhirnya memang benar-benar menemukan keyakinan itu, dan bukannya justru berakhir pada sikap skeptis.
Berkaca pada pengalaman Santo Thomas dan pengakuannya yang fenomenal itu, keraguan anda pada akhirnya dapat membawa iman anda ke tingkat yang lebih matang dan membuat hidup anda tidak lagi sama seperti sebelumnya. Namun, itu hanya dapat terjadi sepanjang anda tidak berhenti pada keraguan itu, melainkan terus melangkah untuk membuktikan bahwa keraguan itu salah, apapun risikonya.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan "bagaimana" di atas, Google bisa membantu anda. Carilah kisah-kisah serupa kisah Santiago, kisah-kisah tentang orang-orang yang merasa tidak berdaya, yang harapannya akan hidup hampir musnah, yang dirundung keputusasaan, baik karena sakit berkepanjangan, kehilangan orang-orang yang dicintai, dan berbagai cobaan hidup lainnya. Cobalah untuk merenungkan dan menyelaminya. Anda akan menemukan suatu kesamaan yang menghubungkan kisah-kisah itu, sebuah interkoneksi yang bisa saja terlihat seperti suatu kebetulan. Dengan menyelami dan merenungkan kisah-kisah itu, mudah-mudahan anda bisa menemukan suatu jawaban. Intinya, jangan menyerah pada keraguan sebelum anda menemukan jawaban itu.
Apabila anda bisa bertemu dengan Santiago, barangkali ia akan menjawabnya demikian: "Bagi orang yang hampir kehilangan harapan, yang bergantung pada sisa-sisa imannya, berkat Tuhan dinantikan layaknya para petani yang mengalami kemarau berkepanjangan menantikan hujan. Di sini, persoalannya bukan lagi besar-kecilnya harapan atau tinggi-rendahnya iman, tetapi hal yang paling mendasar: kesanggupan dan kesediaan untuk mengimani. Kesanggupan dan kesediaan yang lahir dari keterpaksaan dan situasi, namun perlahan-lahan tumbuh menjadi suatu determinasi."
"Bagi kami orang-orang yang terpuruk, iman tidak lagi menjadi sesuatu yang rumit, yang penuh dengan prasyarat. Kami adalah orang-orang yang nyaris 'mati'. Kami harus tahu dan sadar diri. Menyadari kondisi kami yang terpuruk, kami tidak lagi merasa mampu untuk menyombongkan kekuatan kami yang sudah terbukti tidak mampu mengatasi segalanya. Kami membuang jauh-jauh kepongahan, gengsi, dan perasaan-perasaan lain yang dapat menghambat kami untuk berserah dan membuka diri untuk berkat (sejujurnya, perasaan terpuruk seringkali menutup semua perasaan itu). Kami beriman semata agar dapat bertahan hidup. Iman seperti oksigen yang mau tidak mau harus kami hirup agar kami tetap hidup, tanpa syarat apapun. Iman kemudian menjadi persoalan yang sederhana: soal mau atau tidak."
"Bagi kami orang-orang yang terpuruk, keyakinan bahwa Tuhan tidak akan pernah membiarkan kami jatuh ke jurang terdalam adalah segalanya. Faktanya, Ia memang tidak pernah membiarkan manusia terpuruk. Dengan segala cara, Ia berusaha menopang manusia yang limbung. Tetapi manusia kadang menolak kebaikan itu. Manusia sendirilah yang membawa dirinya jatuh dan terpuruk."
"Keterpurukan itu memberikan pelajaran berharga bagi kami. Tak peduli betapa kecilnya iman, nilainya menjadi besar karena kesediaan, kerelaan, keberserahan, dan keikhlasan yang mendasarinya. Itu seperti iman sebesar biji sesawi yang mampu memindahkan gunung, seperti persembahan tak seberapa seorang janda tua yang justru berkenan kepada Allah. Pada akhirnya, kami kembali disadarkan: beriman memang sudah menjadi kewajiban manusia."
***
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan "bagaimana" di atas, Google bisa membantu anda. Carilah kisah-kisah serupa kisah Santiago, kisah-kisah tentang orang-orang yang merasa tidak berdaya, yang harapannya akan hidup hampir musnah, yang dirundung keputusasaan, baik karena sakit berkepanjangan, kehilangan orang-orang yang dicintai, dan berbagai cobaan hidup lainnya. Cobalah untuk merenungkan dan menyelaminya. Anda akan menemukan suatu kesamaan yang menghubungkan kisah-kisah itu, sebuah interkoneksi yang bisa saja terlihat seperti suatu kebetulan. Dengan menyelami dan merenungkan kisah-kisah itu, mudah-mudahan anda bisa menemukan suatu jawaban. Intinya, jangan menyerah pada keraguan sebelum anda menemukan jawaban itu.
Apabila anda bisa bertemu dengan Santiago, barangkali ia akan menjawabnya demikian: "Bagi orang yang hampir kehilangan harapan, yang bergantung pada sisa-sisa imannya, berkat Tuhan dinantikan layaknya para petani yang mengalami kemarau berkepanjangan menantikan hujan. Di sini, persoalannya bukan lagi besar-kecilnya harapan atau tinggi-rendahnya iman, tetapi hal yang paling mendasar: kesanggupan dan kesediaan untuk mengimani. Kesanggupan dan kesediaan yang lahir dari keterpaksaan dan situasi, namun perlahan-lahan tumbuh menjadi suatu determinasi."
"Bagi kami orang-orang yang terpuruk, iman tidak lagi menjadi sesuatu yang rumit, yang penuh dengan prasyarat. Kami adalah orang-orang yang nyaris 'mati'. Kami harus tahu dan sadar diri. Menyadari kondisi kami yang terpuruk, kami tidak lagi merasa mampu untuk menyombongkan kekuatan kami yang sudah terbukti tidak mampu mengatasi segalanya. Kami membuang jauh-jauh kepongahan, gengsi, dan perasaan-perasaan lain yang dapat menghambat kami untuk berserah dan membuka diri untuk berkat (sejujurnya, perasaan terpuruk seringkali menutup semua perasaan itu). Kami beriman semata agar dapat bertahan hidup. Iman seperti oksigen yang mau tidak mau harus kami hirup agar kami tetap hidup, tanpa syarat apapun. Iman kemudian menjadi persoalan yang sederhana: soal mau atau tidak."
"Bagi kami orang-orang yang terpuruk, keyakinan bahwa Tuhan tidak akan pernah membiarkan kami jatuh ke jurang terdalam adalah segalanya. Faktanya, Ia memang tidak pernah membiarkan manusia terpuruk. Dengan segala cara, Ia berusaha menopang manusia yang limbung. Tetapi manusia kadang menolak kebaikan itu. Manusia sendirilah yang membawa dirinya jatuh dan terpuruk."
"Keterpurukan itu memberikan pelajaran berharga bagi kami. Tak peduli betapa kecilnya iman, nilainya menjadi besar karena kesediaan, kerelaan, keberserahan, dan keikhlasan yang mendasarinya. Itu seperti iman sebesar biji sesawi yang mampu memindahkan gunung, seperti persembahan tak seberapa seorang janda tua yang justru berkenan kepada Allah. Pada akhirnya, kami kembali disadarkan: beriman memang sudah menjadi kewajiban manusia."
***
Comments
Post a Comment