Santiago mengucap syukur atas terkabulnya ujud-ujud yang ia sampaikan dalam perayaan-perayaan ekaristi kudus dan melalui Doa Rosario serta Novena Tiga Salam Maria.
      Berbagai pencapaian, bahkan ia bisa mengatakan itu semua sebagai anugerah yang amat berarti, datang satu per satu hanya beberapa minggu setelah ia mengikrarkan diri untuk berdoa dan sungguh-sungguh melaksanakannya.
      Yang tak kalah ajaib baginya adalah kesan yang diperolehnya bahwa selama proses itu berjalan, Tuhan menguji ketekunannya dan membantunya untuk memurnikan motivasinya dalam berdoa. Dan kini ia boleh bersyukur pula atas ujian dan pemurnian itu.
      Semuanya berawal ketika pada suatu masa di mana ia merasa sangat terpuruk dan hampir tidak lagi memiliki harapan, Santiago mencoba berpaling kepadaNya. Hal itu dilakukannya dengan susah payah, karena ia memiliki kecenderungan untuk sebisa mungkin tidak menggantungkan nasibnya kepada orang lain, tak juga kepada Tuhan. Mengenai hal ini, ia sering merasa amat malu dan menyesal.
      Akhirnya, dengan nyaris tiada daya sama sekali, pada Minggu sore itu ia dengan pasrah memohon: "Tuhan, berbicaralah kepadaku melalui ekaristi yang nanti akan kuikuti. Aku berjanji bahwa jika Engkau berbicara kepadaku dalam ekaristi nanti, aku akan tekun berdoa kepadamu".
      Tuhan mendengarkan permintaan Santiago.
      Bacaan Injil sore itu, tentang anak perempuan Yairus dan perempuan yang sakit pendarahan, membantunya dalam menemukan semacam pencerahan. Mendengarnya membuat Santiago "terbangun". "Ini seperti pengulangan", gumamnya. Ia jadi teringat bahwa dengan cara serupalah Tuhan sejak dulu kerap mencoba berbicara kepadanya.
      Ketika Santiago menjalani studi di perguruan tinggi, sapaanNya melalui berbagai bacaan ekaristi Minggu entah bagaimana selalu terkait dengan situasi atau pergulatan yang saat itu sedang ia hadapi. Orang lain barangkali menyebutnya koinsidensi, tapi ia meyakininya sebagai divine intervention. Dan sabdaNya selalu berhasil menenangkan atau menguatkan Santiago.
      Setelah ekaristi sore itu, ekaristi yang selama beberapa waktu ia tinggalkan, Santiago berusaha mencari tahu kenapa saat itu ia bisa menangkap sapaanNya dengan mudah. Barangkali itu terjadi karena saat itu ia cenderung bersedia membuka hati dan akalnya terhadap sapaan itu (sebenarnya Ia selalu berusaha menyapanya, tidak hanya setiap minggu, tetapi bahkan setiap hari, namun Santiago-lah yang seringkali menutup hati dan akalnya terhadap sapaan itu). Santiago ketika itu masihlah Santiago yang rendah hati dan berpikiran serta berperasaan sederhana.
      Dalam beberapa hari sejak momen Minggu sore itu, secara perlahan Santiago mulai membangkitkan keyakinannya dan menumbuhkan harapannya. Pelan-pelan ia bekerja keras untuk menuntaskan janjinya. Itu tak pernah mudah, tapi ia pantang menyerah. Beberapa kali ia jatuh, hanya untuk kemudian bangkit lagi dan kian menghayati proses yang sedang dijalaninya.
      Ketika berkat demi berkat itu hadir, Santiago tentu saja bersyukur. Iapun tersenyum sembari berujar dalam hati: berdoa sesungguhnya bukanlah semacam prasyarat bagi turunnya suatu berkat, tetapi sudah menjadi kewajiban manusia. Terkabul atau tidaknya suatu permohonan tidak akan pernah boleh mengurangi kewajiban itu.
      Perbincangan dengan hatinya itu seolah menggali kembali salah satu prinsip yang ia yakini, namun telah lama terkubur. Berdoa merupakan kewajiban setiap orang. Dan kenyataan berkali-kali membuktikan bahwa Tuhan selalu mendengarkan dan mengabulkan doa umatNya dengan caraNya sendiri. Berkat-berkat yang diterima Santiago adalah buktinya, dan berkat-berkat itulah yang menginspirasi cerita ini.
      Peristiwa di Minggu sore itu menambah lagi satu pengalaman iman bagi Santiago, pengalaman yang "menghidupkan" imannya dan mengimani hidupnya. Dan seperti umumnya pengalaman-pengalaman lain dalam hidup manusia, di situ seringkali ada andil orang lain.
      Atas momen di Minggu sore itu, khususnya untuk saat-saat ketika Santiago mencoba mengadakan perjanjian dengan Tuhan dan kemudian berangkat menuju gereja, ia mengizinkan dirinya untuk mengatakan bahwa ia berhutang pada Paulo Coelho. Ia merasakan bahwa pengalaman yang dialaminya pada momen keterpurukan itu seperti keadaan Paulo Coelho ketika berada di persimpangan karirnya sebelum menjadi penulis besar seperti yang dikenal saat ini.
      Saat itu, setelah melewati berbagai macam pergulatan hidup, Coelho mulai mewujudkan panggilan hidupnya sebagai penulis hanya untuk menjumpai kegagalan demi kegagalan. Karyanya belum direspons baik oleh masyarakat.
      Suatu hari, Coelho memohon kepada Sang Misteri Mahabesar, "If I see a white feather today, that is a sign that God is giving me that I have to write a new book". Dan sesuatu yang luar biasa sungguh terjadi bagi orang-orang yang meminta, percaya, berserah, dan menyiapkan diri untuk menerima berkat: pada hari itu juga, Coelho sungguh-sungguh menemukan bulu putih pada jendela sebuah toko.
      Coelho lantas menanggapi peristiwa yang dipandangnya sebagai mukjizat itu dengan melupakan kegagalan-kegagalannya dan mulai kembali menulis. Perlahan-lahan, ketekunan dan kerja kerasnya mulai membuahkan keberhasilan. Kini, karya-karya dari Coelho, yang di masa-masa awal karirnya justru berangkat dari momen keterpurukan, telah dan masih akan menginspirasi banyak orang di seluruh dunia dan dari berbagai macam latar belakang.
      "Perjanjian dengan Tuhan" serupa yang dialami Coelho itulah yang Santiago ikuti di Minggu sore itu. Dan Yang Mahasetia menepati janjinya, seperti yang telah dan akan selalu dilakukanNya. Bagi Santiago, kini adalah gilirannya untuk menepati janjinya kepada Tuhan di sepanjang sisa hidupnya.


***

Comments

Popular Posts