Sore itu, langit kota Madrid berwarna kemerahan. Jose menikmati momen tenggelamnya matahari
dari dalam ruangan di sebuah kedai minuman. Matanya menerawang ke cakrawala
melalui sebuah jendela kayu yang menjadi sandaran bahu kanannya. Pada saat yang
sama, seorang laki-laki seumurannya sedang duduk di hadapannya. Mata laki-laki
itu bergerak-gerak mengikuti alur huruf-huruf dari sebuah artikel di surat
kabar lokal yang digelarnya di atas meja. Meskipun terbalik, Jose tidak
mengalami kesulitan dalam membaca judul artikel itu: Manusia: Rumit Sekaligus Menarik. Laki-laki yang sedang dipandanginya itu tampak begitu larut
dalam aktivitasnya itu. Jose mengamatinya sembari tersenyum.
Setelah menenggak sisa minuman yang ada di gelasnya, Jose berbicara
kepada laki-laki di depannya, “Raul, aku masih tidak percaya kita bertemu lagi
setelah sekian lama berpisah. Rasanya baru kemarin kita bekerja di kantor yang
sama”.
Lelaki yang Jose ajak bicara itu baru saja menyelesaikan
bacaannya sebelum menjawab, “Ya, Jose. Aku juga tidak menyangka kita dapat
bertemu kembali. Selepas menyelesaikan kontrak kerjaku di Frankfurt, sebenarnya
aku berencana untuk berhenti bekerja untuk sementara waktu. Aku hendak kembali
ke Barcelona dan merawat ibuku. Ternyata ia pulih lebih cepat dari dugaanku,
dan malah memintaku untuk kembali bekerja. Pada awalnya, aku sempat menolak dan memaksanya agar mau kutemani untuk
beberapa waktu. Tapi, ia bersikeras. Akhirnya, aku memutuskan untuk bekerja di
Madrid agar sesekali aku dapat pulang ke Barcelona dan menjumpainya”.
“Ibu kita memang
selalu berhasil merebut hati dan pikiran kita”, Jose berucap.
“Kau benar. Dan
kau tahu, cerita menarik apalagi yang muncul dari peristiwa sakitnya ibuku
ini?”, tanya Raul. Ia segera menjawabnya sendiri, “Kau adalah salah seorang
temanku yang amat mengenalku. Kau tahu betapa aku dulu mengandalkan upaya
manusia di atas segala-galanya”.
“Ya. Dan masihkah
kau seperti itu saat ini?”, ujar Jose sambil tertawa kecil.
“Sedikit”, jawab
Raul sembari membalas tawa Jose. “Namun, kini aku mulai berdoa kembali, dan
pemicunya adalah peristiwa sakitnya ibuku”.
“Bagaimana itu
terjadi?”, Jose merasa penasaran.
“Pekerjaanku amat
menyita waktu. Di sisi lain, atasanku mungkin mengira bahwa aku adalah orang
yang gila kerja”, kata Raul.
“Bukankah kau
memang gila kerja?”, lagi-lagi Jose bertanya sambil tertawa, namun kali ini
pertanyaan itu adalah pertanyaan retoris. Jose mengenal Raul sebagai orang yang
selalu berupaya sekuat tenaga untuk menjalankan tanggung jawabnya dan untuk menepati
janjinya.
“Hahaha …
Aku tak pernah terlalu memikirkan pandangan orang lain terhadapku. Aku hanya berusaha mengerjakan
secara total apa yang dipercayakan atasanku kepadaku. Mungkin karena itulah aku
terus-menerus menerima pekerjaan dan tanggung jawab darinya. Bahkan, semakin lama pekerjaan itu
semakin banyak dan tanggung jawab itu kian besar”, Raul menjelaskan.
“Dari sisi karir,
itu tentu pertanda baik”, Jose memberikan penilaian. “Ya, sekaligus pertanda
bahwa waktuku untuk hal-hal lain di luar pekerjaan akan berkurang. Termasuk
untuk ibuku”, jawab Raul.
“Lantas, cerita
menarik apa yang tadi hendak kau sampaikan?”, tanya Jose.
“Oya, begini.
Karena kesibukanku itu, aku benar-benar sulit menemukan waktu untuk kembali ke
Barcelona, apalagi untuk tinggal di rumah dan merawat ibuku selama beberapa
waktu. Hampir setiap waktu pikiranku terbagi antara pekerjaan dan ibuku. Aku
merasa ingin sekali melakukan sesuatu untuk membantunya agar cepat pulih,
tetapi keadaan menghambat keinginan itu. Akhirnya, dalam keterdesakan itu, aku
berdoa agar ibuku lekas sembuh. Rupanya, Ia masih mendengar doa-doaku”, timpal Raul.
“Aku dapat
merasakan yang kau rasakan, Raul. Aku juga pernah mengalami situasi yang serupa”, kata Jose.
“Ceritakanlah padaku, kawan”, Raul meminta.
“Semasa kuliah,
karena keterbatasan biaya, aku juga harus memupus keinginanku untuk menjenguk
ibuku yang saat itu sakit keras. Yang sanggup kulakukan adalah mendoakannya
terus-menerus dan menulis surat kepadanya, menanyakan perkembangan kesehatannya”.
“Apa yang terjadi
dengan ibumu saat itu?”
“Kau tentu ingat
aku pernah bercerita tentang masa kecil ibuku? Tentang bagaimana miskinnya
keluarganya, dan bagaimana ia, di usia 12 tahun, menjadi ibu pengganti bagi
adik-adiknya sekaligus salah satu tulang punggung keluarga setelah ibunya
meninggal?”, tanya Jose.
“Tentu saja. Aku
tak mungkin melupakan kisah itu”, ujar Raul.
“Rupanya,
kehidupan yang ibuku jalani pada masa mudanya itu berdampak di masa tuanya.
Fisik dan mentalnya dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya. Dari segi mental,
pengalaman-pengalaman itu memperkuat ibuku. Namun, fisik tidak dapat dibohongi.
Nutrisi yang seadanya—yang seadanya itupun seringkali ia relakan untuk
adik-adiknya—dan tenaga yang terkuras untuk bersekolah sambil bekerja—bertani,
berkebun, menenun—serta merawat adik-adik bukanlah hal-hal yang mendukung
perkembangan fisiknya. Dokter mengatakan bahwa beberapa bagian tubuhnya tidak
berkembang secara normal dan menua sebelum waktunya”, Jose menjelaskan. “Meski
demikian, aku tak melihat sedikitpun penyesalan di wajahnya”.
“Ibumu memang
seseorang yang luar biasa, Jose!”, Raul menanggapi. “Sampaikan salamku padanya.
Aku akan menyempatkan diri untuk menemuinya”.
“Kau baik sekali,
Raul”
“Hei, beliau sudah
seperti ibuku sendiri”. “Lalu, apa yang terjadi setelah ibumu memeriksakan diri
ke dokter?”, tanya Raul
“Beberapa hari
kemudian, keluhan-keluhan yang dirasakannya tiba-tiba saja hilang. Ia tidak
pernah lagi merasakannya, setidaknya sampai hari ini”, jelas Jose.
“Mukjizat", Raul
berucap singkat. “Mungkinkah itu karena doamu?”
“Ya, aku
meyakininya. Salah satu hal yang membuatku meyakini itu, dan yang sekaligus
menjadi salah satu pengalaman imanku yang paling kuat (meski orang dapat saja
bersikap sinis terhadap pengalamanku ini—biarlah, itu hak mereka) ialah
ucapannya dalam suratnya kepadaku di hari-hari awal setelah ia mendengar
diagnosis dari dokter”, Jose menjelaskan.
“Apa yang ibumu
tulis?”, tanya Raul.
“Ia mengatakan
bahwa ia merasakan doaku, dan ia berterima kasih padaku atas itu. Mungkin bagi
orang lain hal itu terdengar biasa. Faktanya, aku sama sekali tidak pernah
memberitahukan kepadanya atau kepada siapapun bahwa aku mendoakannya. Bagiku,
mengalami doaku dikabulkan oleh-Nya saja sudah merupakan suatu hal yang luar
biasa, apalagi mengalami bahwa orang lain merasakan doaku untuknya!”, Jose
berujar dengan semangat.
“Luar biasa,
Jose!”
“Ya! Sungguh luar
biasa memang.”
“Aku harus
mengatakan ini kepadamu: ceritamu itu telah menggerakkan hatiku untuk
meneruskan laku doaku. Pembicaraan denganmu selalu menyingkap berbagai hikmah.
Terima kasih, kawan!”, kata Raul.
“Berterima kasihlah
pada dirimu sendiri, kawan. Bersyukurlah juga karena kau masih termasuk dalam golongan
orang yang mampu dan mau menggali pelajaran dari berbagai peristiwa yang kau atau orang lain alami; orang yang bersedia untuk mengimbangi otaknya yang cemerlang dengan
hatinya yang lembut”, ujar Jose.
“Pujianmu
berlebihan”, Raul membalas.
“Tidak, aku
mengatakannya dengan tulus. Dan aku juga hendak mengatakan ini dengan tulus:
sayang, terkadang aku mendapatimu tenggelam dalam keraguanmu, hahaha”.
“Hahaha … Aku tak
menyangkalnya, Jose. Sahabat yang baik memang bak cermin yang selalu
memantulkan secara apa adanya”, Raul menimpali.
“Akupun juga
kerap menarik pelajaran hidup dari cerita-ceritamu, Raul. Dalam beberapa
kesempatan, aku berpikir bahwa kita manusia bagaikan pembawa pesan tersembunyi yang sarat dengan nilai-nilai
kehidupan. Namun, hanya jika orang lain mampu menyingkap pesan tersembunyi yang
kita bawa itu, maka nilai-nilai itu akan membawa manfaat, tak hanya bagi hidup
orang yang mampu menyingkapnya, tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya.
Sebab, pada dasarnya kita saling terkait satu sama lain”, Jose menjelaskan
panjang-lebar.
“Kita memiliki
gagasan yang sama, Jose. Di dunia ini, semua terhubung dengan semua. Berbicara
tentang itu, aku jadi tergelitik untuk bercerita tentang pengalamanku di
kantorku saat ini”, ujar Raul.
“Aku
mendengarkan, sobat”, Jose menjawab sembari memesan dua gelas limun kepada
Juan, si pemilik kedai.
“Dua gelas limun segera, untuk para sahabat mudaku!”, Juan berseru.
“Dua gelas limun segera, untuk para sahabat mudaku!”, Juan berseru.
“Ini tentang
seorang gadis. Namanya Brida. Ia bekerja di departemen yang berbeda
denganku, namun ruangan kami berdekatan. Ia adalah sahabat karib Sofia, rekan
seruanganku. Ia tinggal di sebuah apartemen bersama pacarnya”, kata Raul.
Raul melanjutkan,
“Pada awalnya, aku berpikir bahwa ia mencurigaiku. Maksudku, sebagai orang
baru, aku dipandang tidak mampu bekerja di lingkungan baru. Sikapku yang rajin
dinilai sebagai upaya untuk memperoleh pujian dari atasanku. Namun, lambat
laun, aku merasakan perubahan dalam sikapnya terhadapku”.
“Bagaimana itu
terjadi?”, tanya Jose.
“Dalam beberapa
kesempatan, kami bekerja bersama-sama karena pekerjaan kami saling terkait.
Mungkin di kesempatan-kesempatan itu ia melihat bahwa aku bekerja dengan tulus.
Ia juga merasakan bahwa aku tidak menyembunyikan apapun dalam setiap
interaksiku dengannya. Kami juga mulai berbagi berbagai cerita, seringkali
remeh, tapi terkadang serius. Dalam setiap interaksi itu, aku selalu berusaha
untuk mencurahkan diriku sepenuhnya“.
“Beberapa minggu
setelahnya, kami dan beberapa rekan kerja lainnya menjadi semakin akrab dan sering
menghabiskan waktu bersama-sama. Sejak saat itulah, aku mulai melihat perubahan
sikap darinya. Setiap kali kami bertatap muka, ia sering tersenyum
sebelum berbicara padaku. Namun, ada yang tidak biasa dari senyumnya. Senyumnya
bukan seperti senyum yang diberikan sebagai suatu bentuk sopan-santun.
Senyumnya lebih seperti senyum yang muncul dari orang yang sedang bertemu orang
yang disukainya. Wajahnya juga merona setiap kali bertemu denganku.”
“Hahahahaha! Maksudmu, kau berpikir bahwa gadis itu menyukaimu?”, tanya Jose.
“Aku tidak mengatakan seperti itu”. Raul menjadi agak
tersipu. “Aku hanya bilang bahwa senyumnya kepadaku seperti …”
“Yayaya … Aku hanya menggodamu, kawan”, belum selesai Raul
berbicara, Jose memotongnya. Bagi Jose,
Raul bukanlah seseorang dengan rasa percaya diri yang berlebihan. Jose mengenalnya sebagai seseorang yang amat
tertarik pada manusia, dan pada bagaimana mereka merasa, berpikir, bersikap,
berbicara, dan bertindak. Mengingat hal yang disebut belakangan, Raul tentu saja
juga tertarik pada bagaimana dirinya sendiri melakukan aktivitas-aktivitas itu.
“Lanjutkanlah,
Raul”, Jose berujar.
“Ya. Setiap kali,
kuulangi, setiap kali kami bertemu, ia tersenyum seperti itu. Sepertinya ia
tertarik padaku. Tapi kenapa? Bukankah dia sudah memiliki pacar? Dan
kudengar pacarnya adalah orang Inggris”, kata Raul.
“Ada satu hal lagi yang memantik kesadaranku. Seringkali
ketika kami ngobrol, ia menyinggung kekasihnya pada saat-saat di mana aku
merasa bahwa penyebutan itu tidak relevan, seperti dipaksakan”, imbuh Raul.
“Kau sendiri,
apakah kau merasakan suatu ketertarikan terhadapnya?”, Jose bertanya dengan
serius.
“Dia gadis yang manis. Dan berdasarkan interaksi kami selama ini, aku dapat mengatakan juga bahwa
dia adalah gadis baik-baik. Seorang gadis cukup memiliki dua hal itu untuk membuat
pria tradisional sepertiku agar tertarik kepadanya, hahaha”, Raul mengakui
secara tersirat.
“Tapi aku
bukanlah penghancur hubungan orang lain”, Raul buru-buru menambahkan. Ia
mengucapkannya dengan penekanan.
“Aku tahu kau bukan orang seperti itu. Kau bahkan bersedia
mengorbankan dirimu demi menjaga keutuhan hubungan orang lain, sesuatu yang
sampai saat ini masih sulit kupahami darimu”, kata Jose.
“Ya. Aku sangat menghargai hubungan orang lain, yang dilandasi
oleh kebebasan dan kesadaran dari masing-masing pihak yang terlibat. Aku
melihat dua hal itu dalam hubungan Brida dan kekasihnya. Karenanya, aku
berusaha untuk menempatkan diriku secara proporsional dalam relasiku dengannya”, Raul menjawab.
“Ya, aku tertarik dengannya, tapi ketertarikanku berhenti
sampai di situ. Selebihnya, aku menikmati persahabatan kami. Kau sendiri tahu
bahwa sampai saat ini hatiku hanya menyimpan satu nama”.
“Ya”, jawab Jose
singkat.
Keduanya kemudian terdiam
untuk beberapa saat. Raul menerawang ke kejauhan. Jose menangkap
pemandangan itu. Dalam hatinya, ia mendoakan sahabatnya yang sangat ia sayangi
itu; sahabatnya yang sulit untuk jatuh cinta, yang pernah patah hati, dan yang
beberapa tahun yang lalu kembali menemukan cinta itu dalam diri seorang gadis
temannya semasa kuliah. Gadis yang ia pikir ditakdirkan sebagai pasangannya.
“Aku dapat mengatakan sesuatu kepadamu”, Jose memecah
kesunyian.
“Katakanlah”, ujar Raul.
“Situasi yang
sedang kau alami dengan Brida ini justru dapat memperkuat hubungannya dengan
kekasihnya, dan juga perasaanmu terhadap gadismu. Seseorang yang berada
dalam suatu hubungan yang sudah berjalan lama terkadang memerlukan kehadiran
orang lain yang mampu menggetarkan hatinya, semata untuk menguji ketahanan
cinta dan kemurnian motivasinya terhadap kekasihnya. Apabila ia sungguh
mencintai kekasihnya itu, maka ia tidak akan berpaling kepada orang lain itu.
Perasaan yang ditimbulkan oleh kehadiran orang lain itu dapat memicu dialog
dengan diri sendiri terkait komitmen terhadap pasangan. Pada gilirannya,
komitmen itu akan mewujud dalam tindakan. Kau tentu ingat, emosi adalah sumber dari tindakan”, kata Jose. “Perasaan
yang timbul karena kehadiran orang lain mendorong kita untuk bertanya kepada
diri sendiri: apakah aku masih menyimpan perasaan cinta untuk pasanganku?”
Jose melanjutkan, “Kehadiran orang lain justru mengingatkan
kita kepada pasangan kita. Arus kehidupan seringkali meluputkan kesadaran kita
akan mereka. Kita melihat mereka, tetapi tidak menyadari kehadirannya. Kita
mengetahui keberadaan mereka, tetapi tidak mengalaminya. Hal itu menjadi lebih buruk pada pasangan yang tidak
berkomunikasi dengan baik”.
“Kau benar, Jose.
Aku sendiri merasakan apa yang baru saja kau katakan. Interaksiku dengan Brida
justru memperkuat perasaanku terhadap gadisku. Mungkin Brida juga merasakan hal
yang sama tentang pasangannya”.
“Kuharap begitu”,
ujar Jose.
Tanpa terasa,
malam semakin larut. Kedua pemuda itu meneruskan perbicangan mereka selama
beberapa menit, sebelum kemudian membereskan meja mereka—meskipun ada pelayan
yang akan membersihkan meja itu, mereka tetap melakukannya; itu sudah menjadi
kebiasaan mereka. Mereka kemudian berdiri dan beranjak menghampiri Juan di
pojok ruangan. Juan sedang mengamati anak-anaknya bermain, ditemani istrinya.
Setelah membayar minuman, keduanya berpamitan pada Juan beserta keluarganya.
Juan mengantar Jose dan Raul hingga ke pintu depan. Di situ, kedua pemuda itu berpelukan,
dan kemudian saling mengucapkan salam perpisahan. Juan menyaksikannya sembari
tersenyum.
***
Malam itu, bumi menyaksikan manusia-manusia lainnya juga sedang bercengkerama. Pembicaraan mereka dipenuhi berbagai asumsi, prasangka, predisposisi, keyakinan, niat, harapan, perhatian. Mereka memang rumit, namun sekaligus menarik. Tentang pernyataan itu, siapapun dapat mendebatnya. Namun, satu hal sulit dipungkiri: bahwa pada dasarnya, manusia itu baik.
***
Malam itu, bumi menyaksikan manusia-manusia lainnya juga sedang bercengkerama. Pembicaraan mereka dipenuhi berbagai asumsi, prasangka, predisposisi, keyakinan, niat, harapan, perhatian. Mereka memang rumit, namun sekaligus menarik. Tentang pernyataan itu, siapapun dapat mendebatnya. Namun, satu hal sulit dipungkiri: bahwa pada dasarnya, manusia itu baik.
***
Comments
Post a Comment