"Aku tidak mau menjalani hidupku hanya untuk menyenangkan orang lain", Jorge berujar dalam hati.


***

     Sore itu, Jorge sedang diliputi kekesalan. Ia masih membayangkan peristiwa yang terjadi beberapa jam sebelumnya, bayangan yang diliputi oleh perasaan geram sekaligus penyesalan. Pemicunya adalah argumentasi antara dirinya dan ibunya.
     Di usianya yang ke-18 tahun, Jorge tergolong pemuda dengan pemikiran dan emosi yang lebih matang ketimbang teman-teman sebayanya. Ia membaca banyak buku tentang berbagai tema, mulai dari filsafat, ekonomi, politik, hukum, psikologi, hingga sastra. Ia juga menyukai biografi dan sains. Walaupun sama sekali tidak menolak kegiatan hura-hura (sebagaimana yang umumnya dilakukan orang-orang seumurannya), ia merasa seperti menemukan dirinya dan memperoleh energi manakala ia melakukan aktivitas-aktivitas yang menuntut kerja otak. Barangkali karena itulah, ia sering menolak ajakan teman-temannya ke bar atau bioskop, dan lebih memilih untuk bergabung dalam diskusi dengan orang-orang tua di perpustakaan kota di dekat rumahnya.
     Ibunya, perempuan konservatif dari desa, adalah seseorang yang kenyang dengan kesulitan dan kepahitan hidup. Ia membangun reputasi dari nol sebagai pembina keluarga yang "sukses". "Sukses" oleh masyarakat pada masa itu diukur antara lain dari pekerjaan yang dijalani oleh anak-anak mereka. Kedua kakak Jorge, seorang bankir dan seorang dokter, dipandang memenuhi kriteria itu. Clara dan suaminya, yang sama-sama beranjak dari latar belakang keluarga petani yang sangat miskin, bekerja sedemikian keras agar Jorge dan kedua kakaknya memperoleh pendidikan yang baik. Ia meyakini bahwa pendidikan itulah yang akan mengantarkan ketiga anaknya itu pada pekerjaan dan penghasilan yang mampu mengangkat status ekonomi mereka. Dan memang itulah yang terjadi. Carlos yang sejak kecil bercita-cita menjadi dokter berhasil mewujudkan cita-citanya itu selepas kuliah di salah satu universitas ternama di Madrid. Sementara itu, kendati baru mulai menemukan gairahnya di bidang perbankan ketika berada di sekolah menengah, Lucia terus mengejar impiannya hingga akhirnya ia menjadi bankir di Barcelona.
     Keyakinan Clara dan sang suami bahwa pendidikan dapat merubah nasib mereka tertanam dengan begitu kuat, sekuat opini mereka terhadap pengalaman mereka sendiri. Mereka percaya bahwa mereka tidak berakhir di ladang seperti kakek dan nenek Jorge (Clara adalah sekretaris di sebuah kantor konsultan, sementara ayah Jorge bekerja sebagai administrator di sebuah kantor konsultan) karena mereka pernah merasakan pendidikan di perguruan tinggi, suatu pencapaian yang mereka raih dengan susah-payah dan pengorbanan yang besar, terutama dari kakek dan nenek Jorge. Pengalaman pribadi itulah yang diproyeksikan oleh Clara ke dalam hidup Jorge. Seseorang dengan cita-cita yang tinggi untuk mengubah keadaan di sekitarnya, termasuk hidup anak-anaknya (ia sendiri merasa sudah tidak ada lagi yang dapat dilakukan dengan hidupnya; kesempatan untuk itu sudah lewat seiring usianya yang kian menua), Clara ingin agar Jorge juga mencecap "kesuksesan" seperti yang telah diraih kakak-kakaknya. Alih-alih membiarkan Jorge memilih sendiri pekerjaan yang akan dilakoninya dan mendukungnya untuk melakukan pekerjaan yang dia cintai, Clara berupaya untuk mendesakkan gagasannya tentang pekerjaan yang dipandangnya cocok untuk Jorge.

***

    "Kamu harus menjadi seorang akuntan", kata Clara kepada Jorge. "Aku tidak akan dan tidak akan pernah menjadi seorang akuntan", balas Jorge. "Tapi kenapa? Kamu menyia-nyiakan potensimu, Jorge!", sergah Clara. "Sejak kamu masih kecil hingga sekarang, aku tak pernah melihatmu kehilangan kemahiranmu dalam hal hitung-menghitung. Lagipula, pekerjaan sebagai seorang akuntan akan menjamin masa depanmu dan keluargamu kelak", Clara menambahkan. "Tapi aku tidak menyukai pekerjaan itu. Aku ingin menjadi penulis", Jorge berargumen. Pada titik inilah, kegeraman dan, nantinya, penyesalan Jorge, dimulai.
     Jorge mengenal ibunya dengan baik. Dibandingkan dengan kakak-kakaknya, Clara memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Jorge. Bahkan, Jorge seringkali menjalani peranyang tidak pernah dimintanyasebagai "jembatan komunikasi" antara ibunya dan kakak-kakaknya. Ya, Clara dan Carlos serta Lucia tidak saling berbicara dengan baik. Beberapa kali Clara memiliki keluh kesah terhadap Carlos atau Lucia, dan ia menceritakannya kepada Jorge, seringkali tanpa permintaan untuk menyampaikan keluh kesah itu kepada Carlos atau Lucia. Hal ini seringkali membuat Jorge tidak habis pikir. "Apa gunanya menceritakan keluh kesah itu tanpa menyampaikannya ke orang-orang yang dituju?", pikir Jorge. "Itu sama saja memelihara sumber dari keluh kesah itu. Atau barangkali Ibu hanya ingin mengeluarkan isi hatinya", Jorge mencoba untuk mengelaborasi kemungkinan-kemungkinan lain dalam benaknya. Pada akhirnya, Jorge seringkali memutuskan untuk meneruskan keluh kesah itu kepada Carlos dan Lucia.
     Dari sisi Jorge, kedekatannya dengan ibunya mengikis hambatan-hambatan yang dialami kakak-kakaknya dalam menyampaikan pesan kepada ibunya. Seseorang yang terus terang dan tanpa tedeng aling-aling, Jorge akan mengatakan apa yang menurutnya harus dia katakan. Ia akan mentransformasi seluruh isi pikirannya ke dalam kata-kata manakala ia menganggap itu perlu. Karakter ini acapkali membawanya pada perdebatan panas, tak terkecuali pada sore itu.
     "Jangan bicara seperti itu! Kamu menjadi seorang akuntan penting artinya bagiku. Aku dan bapakmu bersumpah pada diri kami sendiri ketika kami memutuskan untuk menikah, bahwa keluarga yang kami bina, anak-anak kami, tidak akan jatuh ke dalam kesulitan yang sama seperti yang kami alami. Pekerjaan sebagai akuntan akan memastikan bahwa kamu tidak akan mengalami kesulitan seperti yang kami alami. Pekerjaan sebagai akuntan menjanjikan masa depan, tidak seperti penulis. Menjadi penulis hanya akan membawamu pada kesusahan demi kesusahan", Clara menjelaskan.
     Sejak kecil menjadi seorang anak yang otonom dan teguh pada pendapatnya, Jorge dewasa tidak hanya piawai dalam mempertahankan pendiriannya. Ia juga mampu memberikan jawaban-jawaban yang menyerang balik orang-orang yang berusaha memaksakan keinginan mereka terhadapnya, dan akhirnya memaksa mereka untuk memunculkan motivasi yang sebenarnya. Manipulasi adalah salah satu hal yang sangat ia benci, terlebih lagi apabila itu menempatkan hal-hal yang ia anggap sangat penting dalam hidupnyaseperti masa depan atau kebebasannya untuk memilihdalam bahaya. Sebagai orang yang terus terang, wajar saja apabila ia membenci ketidakterusterangan dan kemunafikan yang membalut ucapan maupun tindakan manipulatif, sekalipun tujuannya mungkin baik. Dan meskipun ia percaya bahwa Clara sama sekali tidak memiliki niat untuk memanipulasinya, itulah yang ia rasakan dari ucapan Clara kepadanya, dan ia menolak untuk membohongi perasaannya itu.
     "Jadi itu alasan sesungguhnya Ibu menginginkanku menjadi akuntan? Agar aku menjalani hidup yang enak buah dari pekerjaanku sebagai akuntan, tanpa memedulikan bahwa aku akan menjalaninya dengan keterpaksaan dan pada akhirnya berujung pada ketidakbahagiaan? Hah, aku meragukan Ibu memandang kebahagiaanku sebagai sesuatu yang penting! Sepanjang Ibu dan Bapak dapat memenuhi sumpah kalian, tidak menjadi soal apakah aku akan bahagia atau tidak dengan pekerjaan sebagai akuntan!", suara Jorge mulai meninggi. "Yang terpenting adalah kalian akan mencatat diri kalian sebagai orang-orang yang memenuhi sumpahnya, dan yang mempertahankan reputasi sebagai orang tua yang sukses."
     "Tolong jangan berkata seperti itu, Jorge! Ibu sungguh-sungguh mencintaimu dan menginginkan yang terbaik untuk hidupmu. Dan itu berarti hidupmu akan berakhir lebih baik daripada hidup kami dan kakek-nenekmu," ujar Clara. "Cukup, Ibu, kumohon", Jorge mulai menurunkan nada suaranya. Terungkap rasa sesal dari nada suara dan caranya berbicara. "Tidakkah Ibu menangkap maksudku? Aku memiliki hidupku sendiri. Ini hidupku, Ibu. Itu akan berakhir seperti apa, akulah yang akan menentukan. Akulah nahkoda dari kapal ini. Bukan berarti bahwa aku akan mengabaikan begitu saja pengalaman-pengalaman pahit yang kalian berdua pernah alami, tapi hidupku terlalu berharga untuk sekadar dijadikan antitesis dari hidup kalian. Hidupku akan memiliki peristiwa-peristiwanya sendiri. Beberapa darinya mungkin akan memiliki kemiripan dengan yang pernah kalian alami. Tapi, tolong, biarkan aku yang menjalaninya. Biarkan aku yang memutuskan sendiri apa yang akan kupilih, dan beri aku kesempatan untuk menjalani pilihan itu dengan segala konsekuensinya. Jikalau ternyata pilihan itu salah, aku tidak akan pernah menyesal karena akulah, dan bukan orang lain, yang memutuskannya. Aku akan sangat kecewa dan marah jika sebaliknya yang terjadi, karena aku harus menanggung konsekuensi dari keputusan yang dibuat orang lain!"
     "Kesalahan akan membuatku lebih bijak dan lebih kuat. Dan pengalaman itu akan menjadi harta yang sangat berharga, yang tidak akan pernah dapat dibeli dengan harga berapapun, justru karena aku mengalaminya sendiri, karena aku melibatkan seluruh emosiku dan mencurahkan segenap pikiranku ke dalam pengalaman itu. Pengalaman itu akan menjadi seperti anak kandungku yang akan kurawat dan menyertaiku sampai aku mati."
     "Biar kutegaskan. Aku ingin menjadi penulis. Aku akan menjadi penulis. Aku mencintai menulis. Itu satu dari sedikit kegiatan yang ketika kulakukan, aku merasakan gairah sekaligus sukacita yang mendalam. Itu adalah satu dari sedikit aktivitas yang kulakukan demi aktivitas itu sendiri. Aku tidak melakukannya terutama untuk mencari uang, untuk membangun reputasi, atau untuk menyampaikan perasaan atau pemikiran tertentu. Aku menulis untuk mengekspresikan cinta atas kegiatan menulis itu sendiri. Aku merasakan suatu "keharusan" untuk melakukannya, suatu "keharusan" yang tak dapat kujelaskan. Setiap kali aku menulis, aku seperti sedang menuntaskan "misiku" di kehidupan ini. Aku menjadi diriku ketika aku menulis. Itulah yang memberikanku rasa puas dan kebahagiaan yang tak ternilai dengan uang."
     "Aku tidak ingin membebani hidupku dengan harapan-harapan dari orang lain. Biar orang lain menanggung sendiri beban harapan mereka atas diri mereka sendiri maupun atas orang lain."


***

     Matahari berwarna kemerahan ketika Jorge menarik nafas dalam-dalam, sebelum kemudian menghembuskannya dengan mantap. Ia kini sudah kembali menguasai dirinya. Pikirannya kembali jernih. Kekeruhan yang sempat mengisi benak dan hatinya, telah mengendap. Merenungkan apa yang telah terjadi, terutama perdebatan antara dirinya dan ibunya, Jorge tersenyum kecut pada ironi bahwa orang-orang yang dapat mengecewakannya secara mendalam justru adalah orang-orang yang dekat dengannya. Ia meyakini bahwa itu mungkin terjadi justru karena kedekatan itu menyediakan rasa aman dan keleluasaan emosional maupun intelektual yang diperlukan masing-masing pihak yang terlibat untuk mengekspresikan berbagai perasaan maupun pemikirannya. Setiap relasi yang intim membawa serta pada dirinya potensi kebahagiaan sekaligus kekecewaan yang mendalam, justru karena totalitas yang dipicu oleh perasaan cinta, dan kerentanan serta kepercayaan yang muncul sebagai konsekuensi dari kesediaan masing-masing pihak untuk menelanjangi dirinya, segala "kelebihan dan kekurangannya", hingga tinggal jati dirinya yang tampak.
     Selalu berusaha untuk belajar dari berbagai pengalaman hidupnya, Jorge juga menarik kesimpulan lain: ada hal-hal yang sebaiknya tidak kita ubah. Bukan karena itu tidak dapat diubah atau tidak layak diubah, tetapi karena bukan kitalah yang berhak untuk menentukan apakah hal-hal itu harus diubah atau tidak.



***

Comments

Popular Posts