Dua karya sastra yang saya suka, The Old Man and the Sea (Ernest Hemingway) dan The Little Prince (Antoine de Saint-Exupery), dipersatukan oleh sebuah kesamaan: cerita yang bertumpu pada interaksi antara tokoh manusianya dengan tokoh binatang, yang memuat makna hidup yang kuat.
Dalam The Old Man and the Sea, sang tokoh utama, Santiago, nelayan kawakan yang dirundung ketidakberuntungan yang luar biasa (selama 85 hari berturut-turut, dia tidak berhasil menangkap satu ikan pun), yang membuatnya kehilangan kepercayaan dari orang tua seorang anak kecil bernama Manolin, murid sekaligus satu-satunya orang yang masih meyakini kemampuan Santiago sebagai nelayan, mengambil risiko melaut ke wilayah yang jauh dengan keyakinan bahwa pada hari itu, keberuntungan pada akhirnya akan kembali memeluknya.
Keyakinannya terbayar.
Seekor marlin raksasa, ya, raksasa, menangkap umpannya. Marlin dengan ukuran sepanjang sampan yang digunakannya itu dengan susah payah berupaya ditaklukannya. Santiago, jagoan di masa mudanya, juara adu panco bahkan dengan orang yang berbadan jauh lebih besar darinya, singa di padang gurun, berhasil mengalahkan sang marlin. Namun, bukan soal ketertundukan sang marlin yang menjadi poin, melainkan relasi yang tumbuh antara Santiago dan sang marlin selama pergulatan mereka. Santiago, yang merasa dirinya adalah pria perkasa, perlahan tapi pasti menumbuhkan rasa hormat kepada sang marlin yang selama lebih dari sehari memberikan perlawanan terhadap Santiago, memberontak, berusaha melepaskan diri dari kail yang menancap di mulutnya. Ini tidak lagi menjadi cerita antara nelayan dan ikan buruannya, melainkan cerita tentang dua makhluk perkasa, dengan harga diri yang besar, yang tanpa henti beradu kekuatan hingga salah satu kehabisan daya. Mereka, yang pantang berhenti sebelum salah satu dari mereka menemui akhir.
Sedangkan di The Little Prince, interaksi antara sang pangeran dengan rubah yang ditemuinya, mengajarkan keduanya tentang cinta, tentang kesalingtaklukan, yang berkonsekuensi pada lahirnya tanggung jawab atas yang ditaklukkan, selamanya. Sekali sang pangeran takluk pada sang rubah, selamanya ia takluk padanya, mengenalinya sebagai sang rubah, yang berbeda dengan rubah-rubah lainnya. Sang rubah adalah rubahnya, rubah sang pangeran. Demikian halnya pangeran bagi sang rubah; ia adalah pangerannya, yang telah ia taklukan dan yang telah menaklukannya.
***
Dalam The Old Man and the Sea, sang tokoh utama, Santiago, nelayan kawakan yang dirundung ketidakberuntungan yang luar biasa (selama 85 hari berturut-turut, dia tidak berhasil menangkap satu ikan pun), yang membuatnya kehilangan kepercayaan dari orang tua seorang anak kecil bernama Manolin, murid sekaligus satu-satunya orang yang masih meyakini kemampuan Santiago sebagai nelayan, mengambil risiko melaut ke wilayah yang jauh dengan keyakinan bahwa pada hari itu, keberuntungan pada akhirnya akan kembali memeluknya.
Keyakinannya terbayar.
Seekor marlin raksasa, ya, raksasa, menangkap umpannya. Marlin dengan ukuran sepanjang sampan yang digunakannya itu dengan susah payah berupaya ditaklukannya. Santiago, jagoan di masa mudanya, juara adu panco bahkan dengan orang yang berbadan jauh lebih besar darinya, singa di padang gurun, berhasil mengalahkan sang marlin. Namun, bukan soal ketertundukan sang marlin yang menjadi poin, melainkan relasi yang tumbuh antara Santiago dan sang marlin selama pergulatan mereka. Santiago, yang merasa dirinya adalah pria perkasa, perlahan tapi pasti menumbuhkan rasa hormat kepada sang marlin yang selama lebih dari sehari memberikan perlawanan terhadap Santiago, memberontak, berusaha melepaskan diri dari kail yang menancap di mulutnya. Ini tidak lagi menjadi cerita antara nelayan dan ikan buruannya, melainkan cerita tentang dua makhluk perkasa, dengan harga diri yang besar, yang tanpa henti beradu kekuatan hingga salah satu kehabisan daya. Mereka, yang pantang berhenti sebelum salah satu dari mereka menemui akhir.
Sedangkan di The Little Prince, interaksi antara sang pangeran dengan rubah yang ditemuinya, mengajarkan keduanya tentang cinta, tentang kesalingtaklukan, yang berkonsekuensi pada lahirnya tanggung jawab atas yang ditaklukkan, selamanya. Sekali sang pangeran takluk pada sang rubah, selamanya ia takluk padanya, mengenalinya sebagai sang rubah, yang berbeda dengan rubah-rubah lainnya. Sang rubah adalah rubahnya, rubah sang pangeran. Demikian halnya pangeran bagi sang rubah; ia adalah pangerannya, yang telah ia taklukan dan yang telah menaklukannya.
***
Comments
Post a Comment