Malam itu mencurahkan kepada Miguel satu lagi momen pencerahan--sekaligus pengingat serta penegasan atas apa yang pernah ia dengar bertahun-tahun sebelumnya--terkait cinta.
Semuanya itu dipicu oleh sebotol air minum dan Thomas Merton.
Di suatu sore, di tengah sebuah kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok teman, Miguel dan Estefania berbagi air minum. "Air minum kamu habis? Mau kuisi?", tanya Estefania. "Boleh. Terima kasih ya", ujar Miguel.
Momen itu berlangsung sangat singkat, dan setelah itu, keduanya segera kembali pada aktivitasnya masing-masing. Miguel tak mau membohongi dirinya: tubuhnya terfokus pada aktivitas yang sedang dilakukannya, tetapi pikirannya tidak bisa berpaling dari apa yang baru saja terjadi. Dalam momen itu, ia merasakan perhatian; salah satu pilar penyokong bangunan cinta menurut Erich Fromm, selain pengenalan, rasa hormat, dan tanggung jawab.
Berbagi air mungkin merupakan suatu momen yang remeh bagi orang kebanyakan, tapi tidak bagi seseorang yang sedang menjajaki ke-mengada-annya terhadap seseorang lainnya, seperti yang sedang Miguel alami. Kita semua sama-sama menyadari bahwa cinta membuat perasaan, pikiran, dan persepsi kita menjadi lebih peka. Ujung-ujungnya, itu semua memengaruhi keputusan kita tentang apapun. Hal yang sama terjadi pada saat terjadinya momen "air minum" itu, setidaknya di pihak Miguel. Ia merasa bahwa pemberian air minum itu merupakan sesuatu yang bisa ia anggap sebagai ekspresi kasih. Perasaan itu, bersama dengan keraguannya di awal untuk menerima pemberian itu, perlahan-lahan mengingatkannya pada Thomas Merton.
Thomas Merton meyakini--setelah mengusahakan pencarian dan pemahaman atas hidupnya sendiri--bahwa hidup memiliki arti. Bagi Merton, semua orang memiliki tujuan hidup yang sama dan bergerak ke arah itu, tetapi pada saat yang sama, masing-masing harus menemukan tujuan hidupnya yang personal: penebusan atas dirinya sendiri, penebusan yang bersifat khas, berbeda antara satu orang dengan yang lainnya.
Beranjak dari pemikiran itu, Merton berargumen lebih jauh dengan mengatakan bahwa orang-orang dapat saling membantu dalam menemukan tujuan hidup, tetapi hal yang sama tidak dapat terjadi dalam kaitannya dengan menjalani hidup dan menemukan diri. Orang lain tidak dapat menjalani hidup kita dan mereka tidak dapat sepenuhnya membantu kita dalam menemukan diri kita, dan sebaliknya. Menjalani hidup dan menjawab pertanyaan "siapakah kita ini?" adalah pertama-tama tanggung jawab kita masing-masing. Dalam konteks inilah, Merton berbicara mengenai penebusan sebagaimana disebut di atas.
Penebusan pertama-tama berarti penemuan atas jati diri kita dan atas Tuhan dalam diri kita secara penuh. Makna sekunder dari penebusan adalah pemenuhan anugerah yang Tuhan berikan kepada diri kita masing-masing--yang tentu saja bersifat unik--melalui praktik cinta terhadap sesama dan Tuhan.
Jadi, sejauh ini dua pertanyaan sudah bisa dijawab: (1) Bagaimana kita menemukan arti dari hidup kita? Jawabannya adalah dengan terlebih dulu menebus diri kita; (2) Lalu, bagaimana kita menebus diri kita? Kita menebus diri kita dengan mengenali siapa diri kita sesungguhnya dan mengenali Tuhan di dalam diri kita, dan setelahnya, dengan memberikan diri kita kepada sesama dan Tuhan.
Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah: bagaimana kita mengenali diri kita dan menemukan Tuhan di situ?
Orang lain dapat memberitahukan kepada kita mengenai orang seperti apa kita ini. Tapi yang perlu diingat adalah, deskripsi mereka tentang kita diperoleh dari pengamatan mereka terhadap diri-luar kita. Mereka tidak dapat mengetahui secara pasti apa yang terjadi atau apa yang ada di dalam diri kita, di relung hati, di dasar jiwa. Padahal, diri kita sesungguhnya ada di situ. Selain itu, pengamatan orang lain juga dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap suatu "realitas" yang bernama "kita", "realitas" yang mereka persepsikan berdasarkan pengamatan mereka atas diri-luar kita. Padahal realitas yang sesungguhnya adalah diri-dalam, jati diri kita, yang tidak mungkin orang lain ketahui apalagi kenal.
Kelemahan lain dari mengandalkan orang lain untuk menunjukkan kepada kita tentang siapa diri kita adalah kita terkadang tidak jujur dalam mengada bagi orang lain, entah itu dalam merasa, bersikap, berpikir, berbicara, maupun bertindak. Yang orang lain lihat dari kita adalah diri kita yang tidak jujur ini, dan orang lain menganggap diri kita yang tidak tampil sebagaimana adanya itu sebagai cerminan mutlak dari kita: "realitas" bernama "kita" sebagaimana yang orang lain alami adalah kita yang tidak jujur, kita yang bukan sesungguhnya.
Karena alasan-alasan di atas, kita tidak bisa sepenuhnya menggantungkan diri pada orang lain dalam upaya kita untuk lebih mengenal diri kita. Lantas, bagaimana kita mengenal diri kita? Jika kita tidak bisa bergantung pada orang lain dalam mengenali diri, apakah satu-satunya cara untuk mengenali diri adalah dengan menemukan diri sendiri, yaitu dengan menyadari dan menerima kelebihan dan kekurangan diri, dan merasa puas dan nyaman tentangnya? Ternyata tidak mesti demikian halnya menurut Merton.
Dalam pandangan Merton, dunia ini, hidup ini, penuh dengan paradoks. Kita dapat menanyakan tentang pernyataan Merton ini kepada filsuf manapun, dan mereka akan mengamininya. Paradoks ini mengandaikan adanya dua ekstrem yang saling berkontradiksi. Ekstrem yang satu meniadakan ekstrem yang lain, dan sebaliknya.
Lalu, semua terkait dengan semua. Perubahan pada satu unsur memengaruhi keseluruhan sistem. Tanyakan juga hal ini kepada para filsuf, dan mereka akan memberikan penegasan atasnya. Stephen Covey, Bapak 7 Habits, memiliki istilah lain untuk ini: interdependence; kesalingtergantungan. Kesalingtergantungan mengandaikan adanya dua atau lebih subjek yang mandiri (independent), kemandirian yang memungkinkan adanya ketergantungan yang bersifat resiprokal.
Tepat pada titik inilah, pada saat kita berbicara mengenai paradoks dan kesalingtergantungan, kita mulai dapat melihat dengan terang jati diri kita. Kita mengenal diri kita pertama-tama dengan menyadari dan menerima kelebihan dan kekurangan diri, merasa puas dan nyaman tentangnya, dan membebaskan diri dari persepsi diri apapun. Dengan demikian, kita melihat diri kita sebagai realitas yang sesungguhnya. Ketika kita sudah mampu melihat realitas diri, pada saat itulah kita menyingkap Tuhan di dalam diri kita.
Namun, kita menemukan diri sendiri tidak hanya dengan menyadari jati diri kita. Kita juga menemukan diri kita pada dan melalui orang lain. Inilah yang digumamkan oleh Miguel beberapa saat setelah momen dengan Estefania: "aku menemukan diriku dengan melihat diriku secara jujur dan menyadari kelebihan dan kekuranganku, tapi aku juga menemukan diriku itu dalam interaksi jujur dan apa adanya dengan orang lain". Di sinilah letak paradoks dan kesalingtergantungan itu.
Setelah kita tercerahkan dalam upaya untuk menemukan dan mengenali jati diri kita, kita menggenapi penebusan itu dengan mencintai sesama dan Tuhan. Sebagaimana halnya pengenalan diri, upaya untuk mencintai sesama juga memuat paradoks dan kesalingtergantungan.
Injil mengatakan "kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri". Untuk dapat mencintai sesama, kita harus terlebih dulu mampu dan mau mencintai diri sendiri. Setelah kita mandiri dalam hal cinta, maka kita dapat membagikan cinta itu kepada yang lain. Kita tidak dapat mencintai orang lain apabila terhadap diri sendiri saja, kita tidak mampu mencintai.
Lalu, di mana letak paradoksnya? Paradoks itu terlihat dari kenyataan bahwa--selain kita dapat mencintai sesama apabila kita telah mampu mencintai diri sendiri--kita baru dapat mencintai diri kita secara benar dengan mencintai orang lain. Dari keberadaan orang lain, kita belajar untuk mengenali jenis-jenis cinta yang keliru: (1) cinta yang egois, cinta yang diberikan kepada orang lain dengan tujuan agar orang lain itu "berhutang", (2) cinta yang membunuh diri sendiri karena sepenuhnya terpusat kepada orang yang dituju, dan (3) cinta yang benar-benar hanya ditujukan pada diri sendiri, yang pada gilirannya hanya menunjukkan ketidakmampuan orang itu untuk mencintai orang lain, dan yang akan menyiksanya karena setiap manusia selalu memiliki kebutuhan akan kehadiran orang lain. Karena keberadaan orang lain itulah, kita menjadi paham bahwa cinta terhadap diri sendiri bukanlah suatu dosa, tetapi juga bukan segala-galanya. Kita memerlukannya sebagaimana kita juga memerlukan cinta terhadap, dan dari, orang lain. Kita saling tergantung dalam mencintai diri sendiri dan satu sama lain.
Lebih lanjut, Merton mengungkapkan bahwa mencintai diri secara benar berarti mengingini kehidupan. Mengingini kehidupan bukan hanya berarti menerimanya sebagai suatu anugerah, tetapi pertama-tama mengalami hidup sebagai suatu kesempatan untuk berbuat bagi sesama. Dan berbuat tidak hanya berarti memberi, tetapi juga menerima. Sebab, menerima berarti memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memberi. Itulah yang memupuskan keraguan Miguel untuk menerima tawaran air minum dari Estefania. Pada momen itu, keduanya mewujudkan ekspresi kasih yang resiprokal, saling memberi.
Dari momen "air minum" itu, Miguel belajar bahwa kunci untuk mengalami penebusan adalah dengan memeluk paradoks--menjalankan kedua ekstrem dalam paradoks itu--dan menerima kesalingtergantungan sebagai sesuatu yang lebih tinggi daripada kemandirian. Sebab, dunia berisi paradoks, dan manusia harus mengakui bahwa seluruh isi hidupnya, baik itu pencapaian maupun kegagalan, adalah juga hasil dari partisipasi orang lain, sebagaimana ia sendiri juga berpartisipasi dalam mengisi hidup orang lain. Masing-masing dari kita bukanlah pusat dunia; kita secara bersama-samalah yang merupakan pusat dunia. Masing-masing dari kita bukanlah sebuah pulau yang berdiri sendiri; masing-masing dari kita adalah bagian dari suatu benua, benua yang bernama "kita".
Melalui momen pada malam itu, Miguel juga mulai melihat secara perlahan arti hidupnya, meski masih secara abstrak. Dan itu semua menjadi mungkin karena keberadaan yang lain: Estefania, air minum, dan Thomas Merton.
***
Semuanya itu dipicu oleh sebotol air minum dan Thomas Merton.
Di suatu sore, di tengah sebuah kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok teman, Miguel dan Estefania berbagi air minum. "Air minum kamu habis? Mau kuisi?", tanya Estefania. "Boleh. Terima kasih ya", ujar Miguel.
Momen itu berlangsung sangat singkat, dan setelah itu, keduanya segera kembali pada aktivitasnya masing-masing. Miguel tak mau membohongi dirinya: tubuhnya terfokus pada aktivitas yang sedang dilakukannya, tetapi pikirannya tidak bisa berpaling dari apa yang baru saja terjadi. Dalam momen itu, ia merasakan perhatian; salah satu pilar penyokong bangunan cinta menurut Erich Fromm, selain pengenalan, rasa hormat, dan tanggung jawab.
Berbagi air mungkin merupakan suatu momen yang remeh bagi orang kebanyakan, tapi tidak bagi seseorang yang sedang menjajaki ke-mengada-annya terhadap seseorang lainnya, seperti yang sedang Miguel alami. Kita semua sama-sama menyadari bahwa cinta membuat perasaan, pikiran, dan persepsi kita menjadi lebih peka. Ujung-ujungnya, itu semua memengaruhi keputusan kita tentang apapun. Hal yang sama terjadi pada saat terjadinya momen "air minum" itu, setidaknya di pihak Miguel. Ia merasa bahwa pemberian air minum itu merupakan sesuatu yang bisa ia anggap sebagai ekspresi kasih. Perasaan itu, bersama dengan keraguannya di awal untuk menerima pemberian itu, perlahan-lahan mengingatkannya pada Thomas Merton.
Thomas Merton meyakini--setelah mengusahakan pencarian dan pemahaman atas hidupnya sendiri--bahwa hidup memiliki arti. Bagi Merton, semua orang memiliki tujuan hidup yang sama dan bergerak ke arah itu, tetapi pada saat yang sama, masing-masing harus menemukan tujuan hidupnya yang personal: penebusan atas dirinya sendiri, penebusan yang bersifat khas, berbeda antara satu orang dengan yang lainnya.
Beranjak dari pemikiran itu, Merton berargumen lebih jauh dengan mengatakan bahwa orang-orang dapat saling membantu dalam menemukan tujuan hidup, tetapi hal yang sama tidak dapat terjadi dalam kaitannya dengan menjalani hidup dan menemukan diri. Orang lain tidak dapat menjalani hidup kita dan mereka tidak dapat sepenuhnya membantu kita dalam menemukan diri kita, dan sebaliknya. Menjalani hidup dan menjawab pertanyaan "siapakah kita ini?" adalah pertama-tama tanggung jawab kita masing-masing. Dalam konteks inilah, Merton berbicara mengenai penebusan sebagaimana disebut di atas.
Penebusan pertama-tama berarti penemuan atas jati diri kita dan atas Tuhan dalam diri kita secara penuh. Makna sekunder dari penebusan adalah pemenuhan anugerah yang Tuhan berikan kepada diri kita masing-masing--yang tentu saja bersifat unik--melalui praktik cinta terhadap sesama dan Tuhan.
Jadi, sejauh ini dua pertanyaan sudah bisa dijawab: (1) Bagaimana kita menemukan arti dari hidup kita? Jawabannya adalah dengan terlebih dulu menebus diri kita; (2) Lalu, bagaimana kita menebus diri kita? Kita menebus diri kita dengan mengenali siapa diri kita sesungguhnya dan mengenali Tuhan di dalam diri kita, dan setelahnya, dengan memberikan diri kita kepada sesama dan Tuhan.
Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah: bagaimana kita mengenali diri kita dan menemukan Tuhan di situ?
Orang lain dapat memberitahukan kepada kita mengenai orang seperti apa kita ini. Tapi yang perlu diingat adalah, deskripsi mereka tentang kita diperoleh dari pengamatan mereka terhadap diri-luar kita. Mereka tidak dapat mengetahui secara pasti apa yang terjadi atau apa yang ada di dalam diri kita, di relung hati, di dasar jiwa. Padahal, diri kita sesungguhnya ada di situ. Selain itu, pengamatan orang lain juga dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap suatu "realitas" yang bernama "kita", "realitas" yang mereka persepsikan berdasarkan pengamatan mereka atas diri-luar kita. Padahal realitas yang sesungguhnya adalah diri-dalam, jati diri kita, yang tidak mungkin orang lain ketahui apalagi kenal.
Kelemahan lain dari mengandalkan orang lain untuk menunjukkan kepada kita tentang siapa diri kita adalah kita terkadang tidak jujur dalam mengada bagi orang lain, entah itu dalam merasa, bersikap, berpikir, berbicara, maupun bertindak. Yang orang lain lihat dari kita adalah diri kita yang tidak jujur ini, dan orang lain menganggap diri kita yang tidak tampil sebagaimana adanya itu sebagai cerminan mutlak dari kita: "realitas" bernama "kita" sebagaimana yang orang lain alami adalah kita yang tidak jujur, kita yang bukan sesungguhnya.
Karena alasan-alasan di atas, kita tidak bisa sepenuhnya menggantungkan diri pada orang lain dalam upaya kita untuk lebih mengenal diri kita. Lantas, bagaimana kita mengenal diri kita? Jika kita tidak bisa bergantung pada orang lain dalam mengenali diri, apakah satu-satunya cara untuk mengenali diri adalah dengan menemukan diri sendiri, yaitu dengan menyadari dan menerima kelebihan dan kekurangan diri, dan merasa puas dan nyaman tentangnya? Ternyata tidak mesti demikian halnya menurut Merton.
Dalam pandangan Merton, dunia ini, hidup ini, penuh dengan paradoks. Kita dapat menanyakan tentang pernyataan Merton ini kepada filsuf manapun, dan mereka akan mengamininya. Paradoks ini mengandaikan adanya dua ekstrem yang saling berkontradiksi. Ekstrem yang satu meniadakan ekstrem yang lain, dan sebaliknya.
Lalu, semua terkait dengan semua. Perubahan pada satu unsur memengaruhi keseluruhan sistem. Tanyakan juga hal ini kepada para filsuf, dan mereka akan memberikan penegasan atasnya. Stephen Covey, Bapak 7 Habits, memiliki istilah lain untuk ini: interdependence; kesalingtergantungan. Kesalingtergantungan mengandaikan adanya dua atau lebih subjek yang mandiri (independent), kemandirian yang memungkinkan adanya ketergantungan yang bersifat resiprokal.
Tepat pada titik inilah, pada saat kita berbicara mengenai paradoks dan kesalingtergantungan, kita mulai dapat melihat dengan terang jati diri kita. Kita mengenal diri kita pertama-tama dengan menyadari dan menerima kelebihan dan kekurangan diri, merasa puas dan nyaman tentangnya, dan membebaskan diri dari persepsi diri apapun. Dengan demikian, kita melihat diri kita sebagai realitas yang sesungguhnya. Ketika kita sudah mampu melihat realitas diri, pada saat itulah kita menyingkap Tuhan di dalam diri kita.
Namun, kita menemukan diri sendiri tidak hanya dengan menyadari jati diri kita. Kita juga menemukan diri kita pada dan melalui orang lain. Inilah yang digumamkan oleh Miguel beberapa saat setelah momen dengan Estefania: "aku menemukan diriku dengan melihat diriku secara jujur dan menyadari kelebihan dan kekuranganku, tapi aku juga menemukan diriku itu dalam interaksi jujur dan apa adanya dengan orang lain". Di sinilah letak paradoks dan kesalingtergantungan itu.
Setelah kita tercerahkan dalam upaya untuk menemukan dan mengenali jati diri kita, kita menggenapi penebusan itu dengan mencintai sesama dan Tuhan. Sebagaimana halnya pengenalan diri, upaya untuk mencintai sesama juga memuat paradoks dan kesalingtergantungan.
Injil mengatakan "kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri". Untuk dapat mencintai sesama, kita harus terlebih dulu mampu dan mau mencintai diri sendiri. Setelah kita mandiri dalam hal cinta, maka kita dapat membagikan cinta itu kepada yang lain. Kita tidak dapat mencintai orang lain apabila terhadap diri sendiri saja, kita tidak mampu mencintai.
Lalu, di mana letak paradoksnya? Paradoks itu terlihat dari kenyataan bahwa--selain kita dapat mencintai sesama apabila kita telah mampu mencintai diri sendiri--kita baru dapat mencintai diri kita secara benar dengan mencintai orang lain. Dari keberadaan orang lain, kita belajar untuk mengenali jenis-jenis cinta yang keliru: (1) cinta yang egois, cinta yang diberikan kepada orang lain dengan tujuan agar orang lain itu "berhutang", (2) cinta yang membunuh diri sendiri karena sepenuhnya terpusat kepada orang yang dituju, dan (3) cinta yang benar-benar hanya ditujukan pada diri sendiri, yang pada gilirannya hanya menunjukkan ketidakmampuan orang itu untuk mencintai orang lain, dan yang akan menyiksanya karena setiap manusia selalu memiliki kebutuhan akan kehadiran orang lain. Karena keberadaan orang lain itulah, kita menjadi paham bahwa cinta terhadap diri sendiri bukanlah suatu dosa, tetapi juga bukan segala-galanya. Kita memerlukannya sebagaimana kita juga memerlukan cinta terhadap, dan dari, orang lain. Kita saling tergantung dalam mencintai diri sendiri dan satu sama lain.
Lebih lanjut, Merton mengungkapkan bahwa mencintai diri secara benar berarti mengingini kehidupan. Mengingini kehidupan bukan hanya berarti menerimanya sebagai suatu anugerah, tetapi pertama-tama mengalami hidup sebagai suatu kesempatan untuk berbuat bagi sesama. Dan berbuat tidak hanya berarti memberi, tetapi juga menerima. Sebab, menerima berarti memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memberi. Itulah yang memupuskan keraguan Miguel untuk menerima tawaran air minum dari Estefania. Pada momen itu, keduanya mewujudkan ekspresi kasih yang resiprokal, saling memberi.
Dari momen "air minum" itu, Miguel belajar bahwa kunci untuk mengalami penebusan adalah dengan memeluk paradoks--menjalankan kedua ekstrem dalam paradoks itu--dan menerima kesalingtergantungan sebagai sesuatu yang lebih tinggi daripada kemandirian. Sebab, dunia berisi paradoks, dan manusia harus mengakui bahwa seluruh isi hidupnya, baik itu pencapaian maupun kegagalan, adalah juga hasil dari partisipasi orang lain, sebagaimana ia sendiri juga berpartisipasi dalam mengisi hidup orang lain. Masing-masing dari kita bukanlah pusat dunia; kita secara bersama-samalah yang merupakan pusat dunia. Masing-masing dari kita bukanlah sebuah pulau yang berdiri sendiri; masing-masing dari kita adalah bagian dari suatu benua, benua yang bernama "kita".
Melalui momen pada malam itu, Miguel juga mulai melihat secara perlahan arti hidupnya, meski masih secara abstrak. Dan itu semua menjadi mungkin karena keberadaan yang lain: Estefania, air minum, dan Thomas Merton.
No man is an island.
***
Comments
Post a Comment