Memanggul Kebencian
Pak pos sudah beranjak sejak tadi, tapi Bu Rusmini masih
berdiri di dekat pintu rumahnya. Pikirannya
tenggelam dalam kebingungan tatkala ia memandangi surat itu. Tidak saja
lantaran ia tak dapat membaca, tapi juga karena baru kali itu ia menerima surat.
Di dusunnya, warga yang
pernah menerima surat bisa dihitung dengan jari.
Baru setelah Pram—putra angkatnya
yang tinggal bersamanya, dan satu-satunya keluarga yang seingatnya masih ia miliki—menyebut
nama pengirim surat, ia
seperti tersadar. Wajahnya kini mengekspresikan kekagetan. Perlahan, ia
beringsut ke sebuah kursi kayu lalu duduk. Kedua tangannya mengusap air mata yang mulai
menyapu ruang di kiri dan kanan hidungnya. Sejurus kemudian, perempuan yang
usianya mencapai kepala tujuh itu menangis tak tertahankan.
Pram—yang kini ganti
kebingungan—menjadi saksi tunggal dari tangisan bahagia yang telah lama dinantikan
ibunya. “Bu, kenapa menangis? Ibu mau aku membacakan surat ini sekarang?”,
tanya Pram.
“Tidak apa-apa, nak. Iya,
tolong bacakan surat itu. Ibu ingin sekali mendengarnya”. Lalu Pram
membacakannya.
“Ibuku yang kusayangi, aku sudah mencari Ibu selama bertahun-tahun.
Meski sulit, aku tak pernah menyerah. Aku berterima kasih kepada
kenalan-kenalanku di kepolisian yang telah dengan susah payah dan ikhlas
membantuku untuk menemukan Ibu. Berkat mereka, aku jadi tahu kalau Ibu masih
hidup, dan bahwa aku memiliki seorang adik. Salamku untuk Pram.”
Suara Pram terhenti.
Ganti ia yang kaget sekaligus bertanya-tanya. Kini, ia memahami arti tangisan
ibunya. Hatinya mulai mengharu-biru, tapi ia segera menguasai emosinya.
Bu Rusmini merasa kikuk melihat raut wajah Pram. Ia
merasa bersalah karena tidak pernah menceritakan tentang Ana kepadanya. Tapi ia punya alasan. Ia tak ingin Pram mengalami dan merasakan yang
selama ini dialami dan dirasakannya: terbangun di malam hari oleh mimpi tentang
Ana, menghabiskan banyak waktu bertanya-tanya apakah ia masih hidup, seperti
apa ia sekarang, apa pekerjaannya, apakah ia sudah menikah. Semuanya itu sangat
menyiksa batinnya, namun sekaligus menerbitkan harapan.
Pram lalu melanjutkan.
“Sebenarnya
aku ingin segera berjumpa dengan kalian. Tapi
itu belum akan terjadi dalam waktu dekat. Hari Minggu besok aku berangkat ke luar
negeri, ke wilayah Arab. Aku akan bertugas di sana selama
tiga minggu. Aku wartawan terkenal, Bu. Aku menulis di
koran sehingga masyarakat bisa mengetahui kejadian-kejadian di banyak tempat.”
“Bersama surat ini, aku menitipkan uang untuk kalian. Jumlahnya
lebih dari cukup untuk membeli tiket bis dan pesawat ke Jakarta. Selama di
Jakarta, kalian boleh tinggal di rumahku. Tapi karena aku hidup sendiri, Ibu
dan Pram mungkin akan merasa kesepian di situ. Kalau mau, Pak Windar dan Bu Windar
dengan senang hati menawarkan rumah
mereka sebagai tempat menginap. Alamatnya tertulis di bagian belakang amplop
surat ini. Mereka akan mengurus Ibu dan Pram dengan baik.”
“Aku sangat merindukan Ibu, dan ingin sekali
bertemu Pram. Aku berjanji, kita akan berkumpul setelah aku pulang dari tugas. Sampai
jumpa, Marsiana.”
Ruangan menjadi senyap
selama beberapa saat setelah Pram selesai membaca surat itu, sebelum Bu Rusmini
berdiri dan menghampiri Pram. Sembari memeluknya, ia berujar, masih dengan terisak, “Ana adalah kakakmu, anak kandung Ibu. Ia diambil dari Ibu ketika
kamu belum lahir karena Ibu tidak sanggup merawatnya. Sejak itu, Ibu mencarinya
tanpa hasil.”
Hampir lima puluh tahun
sejak Bu Rusmini berpisah dengan putri sulungnya. Dalam keterbatasannya, ia berusaha mencari Ana. Tapi, tanpa petunjuk lain kecuali sepotong nama “Marsiana”, hasilnya nihil. Setiap
kali pencariannya menemui jalan buntu, pikirannya melayang ke saat ketika Ana dibawa
oleh pasangan Windar, yang kemudian menjadi orang tua angkatnya.
Semuanya bermula ketika di
usianya yang baru dua puluh satu tahun, Rusmini melahirkan Ana di sebuah gubuk
yang sekarang ditinggalinya. Hanya ditemani suaminya dan seorang dukun, ia
berjuang selama delapan jam sebelum akhirnya Ana keluar dari rahimnya dan menangis dengan lantang. Saat Rusmini dan suami mengulurkan
telunjuk mereka kepadanya, Ana menggenggamnya dengan mantap. Mereka bahagia. Ana lahir dengan selamat
dan sehat.
Kebahagiaan keluarga
itu hanya bertahan beberapa bulan. Menjelang
akhir tahun, sejumlah jenderal tentara dibunuh. Peristiwa itu—sebagian kalangan menyebutnya
“percobaan kudeta”—kemudian diikuti dengan “pembersihan” oleh militer dan masyarakat terhadap
sesama anak bangsa yang dianggap terkait dengan partai yang dituduh mendalangi peristiwa
itu. Orang dewasa membunuhi orang
dewasa lainnya. Anak-anak terceraikan dari orang tuanya.
Rusmini muda yang tak
tahu apa-apa dibisiki oleh tetangganya bahwa ia termasuk yang dicari dan akan “dihukum”
karena diketahui pernah hadir dalam sebuah acara yang diadakan oleh partai tersebut.
Padahal, saat itu ia datang hanya
demi sekantong beras yang dijanjikan
kepadanya. Kala itu, Rusmini memang tidak
berpikir panjang. Ia hanya memikirkan bagaimana ia dapat memberi Ana makan di
saat pasokan kebutuhan pokok langka, harga barang naik tidak terkendali, nilai
uang turun.
Situasi sulit itu, yang diperparah
oleh huru-hara politik yang mengikutinya, mendorong ayah Ana mencari pekerjaan ke
kota demi menghidupi keluarganya. Sejak itu, Rusmini tak pernah lagi bertemu dengannya.
Kabar yang beredar, suaminya menikah lagi. Ada juga yang mengatakan kalau ia
meninggal dalam sebuah kecelakaan. Rusmini tak tahu kabar mana yang benar. Yang
ia tahu, suaminya bertanggung jawab dan menyayangi keluarganya.
Bu Rusmini memikirkan
soal beras itu. Seandainya dulu ia tidak menerimanya, ia mungkin tidak perlu
bersembunyi dari satu desa ke desa lainnya dengan membawa Ana yang belum genap
satu tahun. Beruntung, Rusmini
bertemu pasangan Windar yang menyelamatkan nyawanya dan Ana
selama di pelarian.
Pak Windar dan Bu Windar adalah orang baik.
Sama-sama berasal dari keluarga
berada dan terpelajar, mereka sudah dua tahun menikah tapi belum dikaruniai
anak. Ketika pertama kali mengenal Rusmini dan Ana,
mereka belum berpikiran untuk
mengadopsi Ana. Waktu itu, mereka sekadar
mengikuti nurani dengan menyembunyikan ibu dan anak itu. Lambat laun, pasangan
Windar jatuh cinta kepada Ana dan ingin mengangkatnya sebagai anak.
Meski menyadari bahwa niat
mereka akan memisahkan Ana dari ibunya, pasangan Windar akhirnya meminta kepada
Rusmini agar diizinkan untuk mengadopsi Ana. Rusmini berusaha menguatkan hatinya ketika ia menyetujui permintaan itu. “Demi
kehidupan yang lebih baik untuknya,” ujarnya dalam hati. Tiga minggu berselang, Bu Windar membawa Ana ke Jakarta, mengikuti suaminya
yang dipindahtugaskan ke sana.
Rusmini tidak pernah
menyesali apapun dari kepergian Ana waktu itu, kecuali satu hal: ia tidak meminta
alamat pasangan Windar di Jakarta. Syukurlah, kini Ana yang menemukannya. Bu Rusmini
yakin bahwa ini adalah takdir, bahwa ia akan bertemu kembali dengan Ana. Karena
keyakinan itu pula, pada hari kedua lebaran Bu Rusmini dan Pram bergegas
menuju Jakarta.
***
Di ruang tamu keluarga
Windar yang luas, Bu Rusmini, Pram, dan Pak Windar berkumpul. Lantai ruangan
itu terbuat dari marmer, yang membuat ruangan itu terasa sejuk. Di beberapa
sudutnya, ada sejumlah tanaman dan pancuran yang membuat asri dan menambah kesejukan ruangan itu.
Bu Windar baru saja
kembali dari dapur ketika Bu Rusmini sedang berbicara dengan Pak Windar. Sembari menyuguhkan teh hangat untuk mereka
berempat, ia berujar “Bapak pasti sudah bercerita banyak tentang Ana ya, Bu?”
“Iya, Bu”, timpal Bu Rusmini. “Ia rupanya anak yang pintar dan punya cita-cita besar”.
“Ia anak yang luar biasa. Kami bahagia bisa membesarkannya. Sedari kecil, ia selalu
mengetahui yang dia mau. Kami tidak pernah sampai harus memaksanya untuk
melakukan ini-itu. Jika sudah mengambil keputusan, ia akan melaksanakannya hingga
tuntas, apapun rintangannya. Kami membantunya hanya jika itu memang
diperlukan”, kata Bu Windar. Pak Windar menambahkan, “keputusannya menjadi
wartawan juga pilihannya sendiri. Ia pernah bilang kalau ia ingin menyampaikan
pesan-pesan kebaikan kepada sebanyak mungkin orang.”
“Tiga
minggu yang lalu, ia pulang dari luar negeri. Sebenarnya ia boleh beristirahat
selama seminggu sebelum kembali bekerja. Tapi ia memaksa atasannya agar segera
menugaskannya ke Arab begitu ia mendengar tentang yang terjadi di sana. Ia menceritakan kepada saya bagaimana ia membayangkan
anak-anak di sana menjadi ketakutan dan trauma karena melihat kekerasan yang terjadi
di sekitar mereka, atau bahkan mengalaminya sendiri. Ia ingin dunia mengetahui yang
terjadi di sana dan bertindak”, Bu Windar melanjutkan. “Barulah dua hari setelah
itu, muncul kabar kalau teman-temannya berhasil menemukan Ibu. Ana segera
menulis dan mengirimkan surat yang hari ini Ibu bawa.”
***
Sore itu terasa tidak
biasa ketika Bu Rusmini bersama pasangan Windar duduk di pekarangan sembari
menikmati kue buatan Bu Windar. Pram sedang tidur di kamar. Sinar mentari, yang
sedang bersiap untuk membenamkan dirinya beberapa jam lagi, membelai kulit
mereka bertiga dengan lembut. Kicau burung-burung di pepohonan yang rindang
memberikan nuansa lain, melengkapi desir
angin dan suara lamat-lamat percakapan mereka bertiga.
Bu Rusmini sedang
tenggelam dalam lamunan manisnya. Dalam hitungan hari, ia akan bertemu kembali dengan
anak perempuannya setelah puluhan tahun. Lamunan itu seperti menyempurnakan
sore itu, sampai bibi yang bekerja di rumah keluarga Windar membuyarkannya.
“Ada yang mau bicara
dengan Bapak di telepon,” ujar Bi Inah. “Katanya darurat”. Pak
Windar bergegas masuk. Dari pekarangan, Bu Windar bisa melihat ekspresi pucat
di wajah suaminya ketika berbicara di telepon yang terletak di dapur yang
pintunya tersambung dengan jalan menuju pekarangan.
Tak lama, Pak Windar
menghampiri istrinya dan Bu Rusmini. Ia terdiam sesaat, sebelum berbicara. “Itu
dari kantor Ana. Rekannya memberitahu kalau sebuah sekolah di Gaza yang
dijadikan tempat pengungsian terkena serangan rudal pada pagi hari waktu
setempat”.
Bu Windar mulai
membayangkan hal-hal buruk, tapi ia segera menepisnya. Bu Rusmini, yang belum menyadari
situasi yang sedang terjadi, bingung dengan perubahan raut di wajah pasangan itu.
***
Takdir akhirnya menjawab
keyakinan Bu Rusmini. Ia bertemu kembali dengan putrinya yang telah lama terpisah. Tapi ia tidak sanggup melihat Ana, tidak dalam
keadaannya berbalut kafan.
Ia mulai merasakan
penyesalan. Menyesali kenapa dulu ia lupa meminta alamat pasangan Windar. Mengapa
Ana tidak menunggu terlebih dulu kabar dari teman-temannya tentang
keberadaannya sebelum memutuskan pergi ke Gaza. Mengapa
Ana tidak mengundurkan diri dari penugasan itu. Mengapa pagi itu ia berada di sekolah itu…
Dalam pikiran Bu Rusmini yang polos, sama sekali tidak tebersit penyesalan atas kebencian yang berulang kali menghinggapi hidupnya dan orang-orang yang dia cintai, serta yang menjadikannya korban. Kebencian—dan kemiskinan—di tanah airnya sendiri yang pernah memisahkannya dan Ana selama puluhan tahun. Kebencian nun jauh di sana yang kini merenggut putrinya untuk selama-lamanya.
***
Comments
Post a Comment