Sebuah renungan berjudul "Setahun Revolusi Mental" di harian umum KOMPAS edisi Selasa, 20 Oktober 2015, menyentuh hati saya.
Dalam tulisan yang dibuat oleh Bapak Bambang Kesowo, seorang sesepuh bijak yang pernah berkarya di pemerintahan itu, sepak terjang pemerintahan Republik Indonesia selama setahun di bawah pimpinan Bapak Presiden Jokowi dan jargon revolusi mentalnya, diulas.
Kenapa tulisan itu saya sebut sebagai sebuah renungan? Kenapa renungan itu menyentuh hati saya?
Tulisan itu saya anggap sebagai sebuah renungan tak lain karena isinya mengandung hasil pemikiran yang mendalam, yang diungkapkan dengan penuh kejujuran yang ditujukan tidak hanya bagi sang penulis sendiri dan para pembaca, tetapi yang juga dimaksudkan sebagai bahan refleksi bagi setiap orang yang mengaku sebagai bagian dari bangsa besar bernama Indonesia ini.
Tulisan itu juga menyentuh hati saya lantaran di akhir tulisan, Pak Bambang juga mengajarkan kerendahan hati—selain kejujuran—untuk belajar dari pihak lain dalam bersama-sama mewujudkan Indonesia yang maju, dalam hal ini, dengan mencontoh kepemimpinan Lee Kuan Yew. Saya juga adalah pengagum almarhum Lee Kuan Yew, yang melalui kepemimpinannya yang tegas dan tanpa pamrih, keteguhan hatinya dalam mencapai tujuannya, kemampuannya dalam menggugah hati dan pikiran banyak orang untuk mendukung niat baik dan ikut mewujudkan cita-citanya, serta rasa cintanya yang besar terhadap negaranya—mengatasi rasa cintanya terhadap keluarga dan golongannya, telah membawa Singapura dari negara dunia ketiga yang sempat menggantungkan kelangsungan hidupnya pada negara lain, menjadi negara maju.
Pada intinya, dalam tulisannya itu Pak Bambang menekankan bahwa yang harus diubah untuk mewujudkan Indonesia yang maju bukanlah mental, melainkan mentalitas, sifat-sifat kejiwaan dari setiap warga negara Indonesia. Dan perubahan itu harus dilakukan secara serentak, oleh setiap orang di seluruh penjuru republik ini.
Ia memberikan contoh-contoh hal yang memerlukan perubahan, hal-hal yang sederhana, tetapi sangat mendasar: (a) disiplin sosial dalam masyarakat yang menurun (yang misalnya ditandai dengan kecenderungan untuk bertindak sesuka hati dengan melanggar hukum dan norma di masyarakat), (b) etika dalam kehidupan bermasyarakat yang semakin luntur (yang misalnya ditandai dengan makin turunnya sikap hormat kepada orang yang lebih tua), (c) toleransi yang kian menipis terhadap perbedaan (yang misalnya ditandai dengan maraknya benturan antarsuku atau pemeluk agama), (d) tumbuhnya sikap rendah diri (misalnya ditandai dengan sikap yang memandang segala sesuatu yang berbau asing lebih baik, perasaan malu terhadap identitas keindonesiaan), (e) mentalitas konsumtif dan instan, selalu ingin menikmati tanpa mau berusaha, dan itu dicapai dengan cara-cara yang mudah dan cepat, (f) etos kerja yang lembek dan produktivitas kerja yang rendah, dan (g) kecenderungan untuk menghindari tanggung jawab dan melemparkan kesalahan kepada pihak lain.
Kelihatannya sulit untuk melihat kaitan langsung antara perubahan terhadap hal-hal di atas dengan kemajuan negara ini. Tetapi Pak Bambang memberikan contoh, yang sekaligus menjadi bukti dan inspirasi, bahwa merubah suatu negara memang harus dimulai dari hal-hal yang sederhana. Pak Bambang mencontohkan negara tetangga, Singapura, di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew, yang memulai cita-cita menjadi negara maju dengan beranjak dari hal-hal yang sangat sederhana, seperti mengenakan pakaian yang tertutup, tidak membuang ludah di sembarang tempat, tidak membuat sampah sesukanya, dan tidak menyeberang jalan atau memberhentikan angkutan umum di sembarang tempat. Lee Kuan Yew memang memerlukan dua dekade untuk mendidik generasi yang memiliki sikap-sikap dasar di atas. Tetapi dia tetap gigih dan tegas dalam menegakkan peraturan yang dia buat untuk membudayakan sikap-sikap dasar tersebut. Hasilnya adalah Singapura sebagaimana kita lihat sekarang.
Membaca kisah Lee Kuan Yew dalam membentuk mentalitas rakyat Singapura, saya jadi teringat prinsip 3M yang diungkapkan Aa Gym: mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang.
Ketika kita mengaitkan prinsip 3M itu dengan perjuangan bangsa Singapura untuk menjadi seperti sekarang, permenungan jujur dan rendah hati dari Pak Bambang untuk bangsa ini, dan mungkin juga pengalaman kita sendiri dalam mengubah diri menjadi manusia yang lebih baik, kita mungkin menjadi sadar akan betapa dalamnya kebenaran yang terkandung dalam prinsip itu. Kita boleh bersyukur atas penyadaran itu. Sebab, bukan banyaknya pengetahuan, tetapi mencecap dalam-dalam kebenaran dari pengetahuan itulah yang memuaskan hati.
Akhirnya, mengubah mentalitas bangsa ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Bangsa lain telah membuktikannya. Tapi perubahan itu baru akan terjadi apabila masing-masing dari kita mau mengakui secara jujur dan rendah hati bahwa itu harus dimulai pertama-tama dari diri kita sendiri, dari hal yang kecil, dari sekarang.
Dan untuk menginspirasi kita, renungan ini ditutup dengan sebuah bait lagu:
There are miracles in life I must achieve
But first I know it starts inside of me
If I can see it, then I can be it
If I just believe it, there's nothing to it
I believe I can fly ...
("I Believe I Can Fly" by R. Kelly)
***
Dalam tulisan yang dibuat oleh Bapak Bambang Kesowo, seorang sesepuh bijak yang pernah berkarya di pemerintahan itu, sepak terjang pemerintahan Republik Indonesia selama setahun di bawah pimpinan Bapak Presiden Jokowi dan jargon revolusi mentalnya, diulas.
Kenapa tulisan itu saya sebut sebagai sebuah renungan? Kenapa renungan itu menyentuh hati saya?
Tulisan itu saya anggap sebagai sebuah renungan tak lain karena isinya mengandung hasil pemikiran yang mendalam, yang diungkapkan dengan penuh kejujuran yang ditujukan tidak hanya bagi sang penulis sendiri dan para pembaca, tetapi yang juga dimaksudkan sebagai bahan refleksi bagi setiap orang yang mengaku sebagai bagian dari bangsa besar bernama Indonesia ini.
Tulisan itu juga menyentuh hati saya lantaran di akhir tulisan, Pak Bambang juga mengajarkan kerendahan hati—selain kejujuran—untuk belajar dari pihak lain dalam bersama-sama mewujudkan Indonesia yang maju, dalam hal ini, dengan mencontoh kepemimpinan Lee Kuan Yew. Saya juga adalah pengagum almarhum Lee Kuan Yew, yang melalui kepemimpinannya yang tegas dan tanpa pamrih, keteguhan hatinya dalam mencapai tujuannya, kemampuannya dalam menggugah hati dan pikiran banyak orang untuk mendukung niat baik dan ikut mewujudkan cita-citanya, serta rasa cintanya yang besar terhadap negaranya—mengatasi rasa cintanya terhadap keluarga dan golongannya, telah membawa Singapura dari negara dunia ketiga yang sempat menggantungkan kelangsungan hidupnya pada negara lain, menjadi negara maju.
Pada intinya, dalam tulisannya itu Pak Bambang menekankan bahwa yang harus diubah untuk mewujudkan Indonesia yang maju bukanlah mental, melainkan mentalitas, sifat-sifat kejiwaan dari setiap warga negara Indonesia. Dan perubahan itu harus dilakukan secara serentak, oleh setiap orang di seluruh penjuru republik ini.
Ia memberikan contoh-contoh hal yang memerlukan perubahan, hal-hal yang sederhana, tetapi sangat mendasar: (a) disiplin sosial dalam masyarakat yang menurun (yang misalnya ditandai dengan kecenderungan untuk bertindak sesuka hati dengan melanggar hukum dan norma di masyarakat), (b) etika dalam kehidupan bermasyarakat yang semakin luntur (yang misalnya ditandai dengan makin turunnya sikap hormat kepada orang yang lebih tua), (c) toleransi yang kian menipis terhadap perbedaan (yang misalnya ditandai dengan maraknya benturan antarsuku atau pemeluk agama), (d) tumbuhnya sikap rendah diri (misalnya ditandai dengan sikap yang memandang segala sesuatu yang berbau asing lebih baik, perasaan malu terhadap identitas keindonesiaan), (e) mentalitas konsumtif dan instan, selalu ingin menikmati tanpa mau berusaha, dan itu dicapai dengan cara-cara yang mudah dan cepat, (f) etos kerja yang lembek dan produktivitas kerja yang rendah, dan (g) kecenderungan untuk menghindari tanggung jawab dan melemparkan kesalahan kepada pihak lain.
Kelihatannya sulit untuk melihat kaitan langsung antara perubahan terhadap hal-hal di atas dengan kemajuan negara ini. Tetapi Pak Bambang memberikan contoh, yang sekaligus menjadi bukti dan inspirasi, bahwa merubah suatu negara memang harus dimulai dari hal-hal yang sederhana. Pak Bambang mencontohkan negara tetangga, Singapura, di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew, yang memulai cita-cita menjadi negara maju dengan beranjak dari hal-hal yang sangat sederhana, seperti mengenakan pakaian yang tertutup, tidak membuang ludah di sembarang tempat, tidak membuat sampah sesukanya, dan tidak menyeberang jalan atau memberhentikan angkutan umum di sembarang tempat. Lee Kuan Yew memang memerlukan dua dekade untuk mendidik generasi yang memiliki sikap-sikap dasar di atas. Tetapi dia tetap gigih dan tegas dalam menegakkan peraturan yang dia buat untuk membudayakan sikap-sikap dasar tersebut. Hasilnya adalah Singapura sebagaimana kita lihat sekarang.
Membaca kisah Lee Kuan Yew dalam membentuk mentalitas rakyat Singapura, saya jadi teringat prinsip 3M yang diungkapkan Aa Gym: mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang.
Ketika kita mengaitkan prinsip 3M itu dengan perjuangan bangsa Singapura untuk menjadi seperti sekarang, permenungan jujur dan rendah hati dari Pak Bambang untuk bangsa ini, dan mungkin juga pengalaman kita sendiri dalam mengubah diri menjadi manusia yang lebih baik, kita mungkin menjadi sadar akan betapa dalamnya kebenaran yang terkandung dalam prinsip itu. Kita boleh bersyukur atas penyadaran itu. Sebab, bukan banyaknya pengetahuan, tetapi mencecap dalam-dalam kebenaran dari pengetahuan itulah yang memuaskan hati.
Akhirnya, mengubah mentalitas bangsa ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Bangsa lain telah membuktikannya. Tapi perubahan itu baru akan terjadi apabila masing-masing dari kita mau mengakui secara jujur dan rendah hati bahwa itu harus dimulai pertama-tama dari diri kita sendiri, dari hal yang kecil, dari sekarang.
Dan untuk menginspirasi kita, renungan ini ditutup dengan sebuah bait lagu:
There are miracles in life I must achieve
But first I know it starts inside of me
If I can see it, then I can be it
If I just believe it, there's nothing to it
I believe I can fly ...
("I Believe I Can Fly" by R. Kelly)
***
Comments
Post a Comment