Beberapa saat yang lalu, sang pacar dan saya mengobrol melalui telepon. Ia menceritakan tentang kejadian-kejadian yang belakangan ia alami, terutama kejadian-kejadian di hari ini. Kisah yang diceritakannya berkutat di seputar tiga hal besar: banyaknya pekerjaan yang harus ia selesaikan, perjuangannya untuk menjadi pribadi yang lebih sehat, dan pertemuannya dengan sepasang manula di sebuah rumah sakit.

Ia menceritakan bagaimana kejadian-kejadian yang dialaminya telah menariknya sejenak dari rutinitas hidup dan membawanya untuk mempertanyakan tentang sejumlah hal yang layak untuk kita tanyakan ke diri kita sendiri, setiap harinya: untuk apa aku melakukan apa yang setiap hari kulakukan? untuk siapa aku melakukannya? apa yang sebenarnya kucari? apa yang penting dalam hidupku? mengapa rasanya begitu berat untuk memberi kepada orang lain, untuk merelakan apa yang kita miliki? mengapa sulit untuk bersyukur dan melihat sisi positif dari setiap pengalaman?

Aku percaya bahwa tanda ada di mana-mana. Bahwa universalitas itu nyata. Bahwa yang kita sebut sebagai "Tuhan", yang transenden (yang mahatinggi, yang mengatasi pengalaman jasmaniah manusia) sekaligus yang imanen (yang mengisi setiap material di dunia, hingga yang terkecil, tak terkecuali manusia) sungguh-sungguh ada. Maka, ketika dua orang yang terpaut jarak dapat merasakan pengalaman yang sama tanpa membicarakannya satu sama lain sebelumnya, bisa jadi itu adalah sebentuk tanda bahwa Ia hadir dan menyapa kita untuk tekun menggali makna dari hidup yang kita jalani.

Apa yang pacar saya alami dan renungkan, saya alami dan renungkan juga:

Kemarin saya menghadiri misa. Bacaan Injil yang diperdengarkan adalah tentang kisah seorang janda tua dan persembahannya. Kita kaum kristiani tentu sudah sering mendengar kisah ini. Tapi, seberapa sering kita merenungkannya dan menggali makna darinya?


Pastor yang kemarin memimpin misa memulai khotbahnya tentang bacaan Injil itu dengan penjelasan standar: persembahan janda tua itu lebih berkenan kepada Tuhan karena janda itu mempersembahkan uangnya meski ia sendiri berkekurangan. Apa bedanya dengan persembahan dalam jumlah yang jauh lebih besar yang diberikan orang kaya? Bedanya adalah: persembahan orang kaya yang menyumbang dari kelimpahannya bagaikan garam bagi lautan. Tak bermakna. Tidak demikian halnya dengan persembahan janda tua. Pemberian yang muncul dari kekurangan. Penuh dengan arti.

Dari renungan itu, kita dapat menjawab pertanyaan: untuk apa aku melakukan apa yang setiap hari yang kulakukan? Jawabnya: untuk sebuah makna, untuk suatu arti.

Sang pastor menjelaskan lebih jauh melalui contoh yang terdengar sederhana, tapi mendalam. Sang janda bagaikan seorang anak yang menyisihkan sebagian uang jajannya sejak hari Senin sampai dengan Sabtu, untuk kemudian dipersembahkan kepada Tuhan di hari Minggu.

Tiga hal yang dapat ditarik dari kisah sang anak.

Setiap hal yang kita kerjakan setiap hari dapat menjadi "persembahan" apabila kita meniatkannya. Melakukan sesuatu untuk menggali suatu makna menyiratkan bahwa kita didorong oleh suatu niat dalam bertindak, niat untuk menggali makna. Maka, cara kita bertindak apapun perlu diimbangi dengan niat kita dalam menjalankan apapun tindakan itu.

Kemudian, mengapa sang janda dan si anak dapat berbuat sedemikian rupa? Karena dalam berbuat, mereka tidak memikirkan diri mereka sendiri. Mereka memikirkan Tuhan. Mereka sudah selesai dengan diri mereka sendiri. Maka, tentang pertanyaan: untuk siapa aku melakukan yang setiap hari kulakukan? Jawabnya adalah: untuk kemuliaan yang lebih besar dari Tuhan (ad maiorem Dei gloriam). Kemuliaan Tuhan menjadi hal terpenting dalam hidup mereka, melebihi diri mereka sendiri.

Akhirnya, kisah sang janda dan si anak dipersatukan oleh suatu sikap: pengorbanan. Sang pastor merumuskan teorinya sendiri: cara untuk mengetahui bahwa apa yang kita persembahkan berkenan kepada Tuhan ialah apabila kita merasa sakit atau terluka ketika kita melakukan persembahan itu. Bahwa ketika kita melakukannya, ada yang diambil dari kita, ada pengorbanan yang kita berikan. Tapi kita dengan besar hati tetap melakukannya.

Bagaimana sang janda dan si anak bisa berkorban seperti itu? Karena mereka sudah berhenti memikirkan diri mereka sendiri, dan mulai berpikir tentang apa yang ada di luar diri mereka: pasangan, keluarga, sahabat, orang asing, atau mungkin juga bangsa. Yang jelas, bukan diri sendiri.

Jika sudah demikian, maka tidak akan lagi muncul perasaan berat hati ketika kita hendak memberi, merelakan apa yang kita miliki. Dan kita akan menjadi lebih mudah bersyukur dan melihat sisi positif dari setiap pengalaman kita. Karena, dalam setiap peristiwa hidup kita, Tuhan menyembunyikan sesuatu yang sangat berharga untuk kita temukan.

Apa yang seharusnya kita cari?



***

Comments

Popular Posts