si pangeran


Kali ini, gw mau menulis (lagi) tentang isi novela "The Little Prince"One of my favorite book..

Novela tersebut menarik perhatian gw terutama karena beberapa pemikiran si pengarang tentang hal-hal yang menurut gw penting (kalo dalam istilah si pengarang, "matter of consequence"), yang dijejalkan si pengarang ke otak para pembaca melalui jalinan cerita yang keren banget.

Hal-hal penting tersebut terselip di dalam kisah-kisah yang muncul di novela tersebut, di antaranya kisah tentang si pilot dan gambar ular boa menelan gajah yang dibuatnya ketika masih kecil serta bagaimana orang dewasa melihat gambar tersebut, tentang gambar kotak yang memuat kambing hidup, tentang astronom dari Turki dan presentasinya tentang asteroid B-612, dan tentu saja tentang ikatan antara si pangeran dan bunga serta rubahnya.

Nah, di sini gw mau menulis tentang orang-orang yang dijumpai si pangeran selama kurun waktu sejak dia pergi dari planetnya dan sebelum dia tiba di bumi. Melalui cerita tentang pertemuan antara si pangeran dengan orang-orang ini, menurut gw si pengarang mau menggambarkan beberapa sifat manusia pada umumnya, dan mau menilai sifat tersebut dari sudut pandang si pangeran yang sangat polos, jujur, dan otentik.

Orang pertama yang ditemui si pangeran adalah seseorang yang mengklaim dirinya sebagai raja alam semesta.

Sang raja tidak leluasa untuk bergerak karena sudah tua. Ia hanya duduk di singgasananya yang sempit di planetnya yang kecil. Karena itu, ia sangat bergembira apabila bertemu orang lain, seperti yang dialaminya ketika bertemu si pangeran.

Jangan salah sangka, perasaan gembira itu muncul bukan karena dapat bertemu orang lain untuk diajak ngobrol dan berbagi, tapi karena sang raja merasa menemukan subjek yang bisa dia jadikan subordinat dari kekuasaannya. Selain senang, sang raja juga merasa bangga telah menemukan orang yang dapat dia perintah.

Dalam novela ini, sang raja diceritakan sebagai seseorang yang menganggap semua orang lain dan semua benda di alam semesta sebagai subordinatnya dan berada di bawah kekuasaannya. Untuk menunjukkan dan membuktikan kekuasaannya, ia gemar memerintah. Ia berkali-kali memerintah si pangeran untuk melakukan sesuatu, bahkan untuk hal-hal tidak memerlukan perintah (seperti perintah kepada si pangeran untuk melakukan sesuatu yang memang ingin dilakukan oleh si pangeran, terlepas dari ada atau tidaknya perintah itu). Yang sebenarnya terjadi, sang raja ingin agar orang lain menghormatinya karena kekuasaan yang dimilikinya dan agar orang lain taat kepada perintahnya. Untuk itu, sang raja harus memamerkan kekuasaannya dengan mengumbar perintah dan meminta siapapun yang ia perintah untuk melaksanakan perintah itu. Sang raja tidak menerima ketidakpatuhan.

Terlepas dari sifatnya yang menyebalkan, sang raja melontarkan suatu pemikiran yang menarik, yang bisa dipecah menjadi dua pokok.

Pertama, menurutnya kekuasaan harus dipegang oleh orang baik. Pernyataan ini menarik, karena selain keluar dari mulut raja yang gemar memamerkan kekuasaannya (ini semacam kontradiksi), pernyataan itu juga menyimpan suatu kebenaran. Logikanya, kekuasaan yang terbatas saja bisa merugikan banyak orang apabila dilaksanakan oleh orang jahat, apalagi kalo kekuasaan itu bersifat tak terbatas seperti yang dimiliki si raja dan apalagi kalo raja yang kekuasaannya tidak terbatas itu tidak menerima ketidaktaatan.

Kedua, kekuasaan bersumber dari akal sehat, dan karenanya harus juga dijalankan berdasarkan akal sehat. Perintah yang diberikan sebagai pelaksanaan dari suatu kekuasaan harus memungkinkan (baca: masuk akal) untuk dijalankan. Misalnya, apabila si raja meminta seseorang untuk berubah menjadi kucing, maka sang raja bersalah terhadap orang tersebut karena telah memerintahkannya untuk melakukan sesuatu yang mustahil. Apabila dia memerintahkan setiap orang untuk berubah menjadi kucing, maka orang-orang akan memberontak kepadanya karena memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan, padahal pasti ada sanksi bagi mereka yang tidak melaksanakan perintah itu, betapapun absurdnya. Dalam hal ini, yang salah adalah si raja karena perintahnya tidak masuk akal.

Dari situ, kita dapat menyimpulkan: penguasa berhak untuk meminta subordinatnya untuk menuruti perintahnya karena perintah tersebut masuk akal dan memungkinkan untuk dilaksanakan oleh subordinat. Perintah yang masuk akal harus menjadi sebab dari pelaksanaannya. Sebaliknya, apabila suatu perintah ternyata memang tidak mungkin dijalankan, maka penguasa harus mengakui kesalahannya dan harus menerima bahwa subordinatnya mungkin tidak mematuhi perintah tersebut.

Dalam kehidupan sehari-hari, di masyarakat, di pemerintahan, atau di tempat kerja, kita bisa melihat, atau bahkan merasakan sendiri, contoh penguasa yang menjalankan kekuasaannya tanpa dilandasi akal sehat, atau contoh orang yang gemar menggunakan kekuasaannya terhadap orang lain untuk menunjukkan bahwa dia memiliki kekuasaan. Kisah si pangeran dan sang raja ini adalah pukulan telak bagi orang atau penguasa semacam itu.

Pada bagian lain dari cerita ini, ada kisah menarik lainnya ketika sang raja ingin mengangkat si pangeran untuk menjadi menteri kehakiman yang harus mengadili seisi jagat raya. Si pangeran menolak karena ia tidak tertarik mengadili orang lain, apalagi harus memberikan hukuman setelahnya. Karena si pangeran menolak untuk mengadili orang lain, sang raja memintanya untuk mengadili diri sendiri.

Menurut sang raja, mengadili diri sendiri adalah hal yang paling sulit dilakukan, dan hanya orang bijaksana yang berhasil melakukan itu. Pada titik ini, si pengarang menurut saya ingin berbicara mengenai kerendahan hati.

Mengadili diri sendiri menjadi sulit karena setiap orang cenderung membenarkan dirinya, betapapun ia keliru. Karena itulah, untuk dapat mengadili diri sendiri seadil-adilnya, setiap orang membutuhkan kerendahan hati, untuk pertama-tama menerima dirinya dalam kondisi apapun, dan mengakui setiap kekurangan dan kesalahannya kepada dirinya sendiri terlebih dulu. Dan merenungkan soal itu, gw menjadi tergelitik untuk berpikir seperti ini: karena orang yang paling layak untuk mengadili adalah penguasa atau pemimpin, maka merekalah yang sebenarnya paling membutuhkan kerendahan hati itu dibandingkan rakyat biasa. Apalagi, penguasa atau pemimpin merupakan contoh atau teladan bagi rakyatnya.


Kisah kini berlanjut ke saat ketika pertemuan antara si pangeran dan sang raja hampir berakhir, yaitu ketika si pangeran hendak berpamitan kepada sang raja karena ingin melanjutkan perjalanan ke bumi. Sang raja mengiming-imingi si pangeran dengan berbagai jabatan agar dia tidak pergi dan meninggalkan sang raja tanpa subordinat (termasuk dengan cara ingin menjadikan si pangeran sebagai menteri kehakiman).

Menanggapi tawaran-tawaran sang raja, si pangeran menolak dan tetap bersikeras untuk pergi. Dengan sisa daya tawar yang masih dimilikinya, sang raja menjalankan upaya pamungkas: menjadikan si pangeran sebagai duta besar dari kerajaannya untuk planet-planet lain. Dengan demikian, si pangeran tetap dapat melanjutkan perjalanannya dan sang raja bisa merasa tetap berkuasa dengan cara memberikan perintahnya kepada si pangeran.

Di titik cerita inilah, gw merasa miris sama si raja..

Bahkan di saat si pangeran sudah jelas-jelas menolak keinginan sang raja, sang raja masih berusaha untuk memberikan kepada si pangeran suatu jabatan yang tidak diinginkan dan dibutuhkannya (tetapi yang juga mewakili apa yang akan dilakukannya kemudian), hanya untuk menunjukkan kepada dirinya sendiri bahwa ia masih memiliki kuasa atas orang lain.

Menyedihkan..

Apapun itu, pelajaran  dari cerita ini cukup jelas: penguasa juga membutuhkan rakyatnya, bukan hanya sebaliknya.


Dan mudah-mudahan penguasa membutuhkan rakyatnya bukan karena ingin menjadikan rakyat sebagai sarana untuk memperoleh kekuasaan itu maupun untuk memamerkannya, melainkan karena penguasa memandang rakyatnya sebagai tujuan dari kekuasaannya (baca: orang-orang yang menginspirasi penguasa untuk berkuasa, karena ingin menggunakan kekuasaan itu untuk menyejahterakan mereka lahir-batin).

si raja


***

Comments

Popular Posts