“Anak-anakku Lebih Nyaman Bergaul dengan Anak-anak Indonesia”
Bulan Mei yang lampau menyisakan banyak kenangan manis dan pengalaman berharga
dari penjelajahan yang aku dan pasanganku serta empat orang sahabat jalani di Nusa
Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Persahabatan yang terjalin antara kami
berenam dan orang-orang yang kami temui selama perjalanan adalah salah satu
kenangan manis itu.
Aku mengawali perjalanan dengan berangkat sendirian dari Jakarta menuju
Denpasar dengan pesawat pukul 5 pagi. Tiba di bandara Ngurah Rai pada pukul 08.00,
aku menghabiskan hampir 5 jam untuk makan, membaca, dan berjalan-jalan di
sekeliling bandara, sebelum meneruskan penerbangan ke Ende. Pukul 14.30, aku
tiba di Ende bersama Meli dan Ando. Kami tak sengaja bertemu saat mengantre masuk
ke pesawat. Di Bandara H. Hasan Aroeboesman Ende, kami bertiga bergabung dengan
pacarku, Stefy, dan 2 orang sahabat lainnya, Irvan dan Eben. Setelah melaksanakan
“sesi foto wajib” di landasan pacu dan menuntaskan urusan “ke belakang”, kami
keluar menuju parkiran untuk menemui orang dari pihak tur yang menjemput dan
akan mengantar kami dengan mobil selama di Ende.
Seperti biasanya, setiap kali aku bepergian ke tempat yang pertama kali
kukunjungi, aku meningkatkan kewaspadaanku, terutama terhadap warga setempat. Sebagai
orang yang antisipatif dan cenderung tidak mudah rileks, aku mengamati
orang-orang di sekitar parkiran yang kami lewati saat menuju mobil sewaan kami.
Sebagian dari mereka menawarkan jasa sewa mobil, penawaran yang berakhir segera
setelah Meli mengatakan “Makasih, Pak. Kami sudah ada yang jemput”. Penampilan
mereka layaknya orang Timur pada umumnya: fisik yang besar dan kekar, kulit
yang agak gelap, dan suara yang berat dan tegas.
Aku mulai membayangkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi atas kami
selama bersama dengan warga setempat. Tapi, perlahan-lahan bayangan itu hilang
saat kami mulai berinteraksi dengan supir kami, orang asli Ende. Kae (berarti “abang” dalam Bahasa Ende),
panggilan kami untuk sang supir, adalah seseorang yang ramah, meski penampilan
fisiknya menyiratkan hal sebaliknya. Sepanjang perjalanan, dia menceritakan
dengan supel mengenai Ende dan perkembangannya dari waktu ke waktu. Dia juga bercerita
secara terbuka mengenai kehidupan pribadinya, dan bagaimana ia bisa bekerja di
travel. Tentu saja, Kae juga mempromosikan tempat-tempat indah di Ende untuk
kami kunjungi, tak terkecuali Gunung Kelimutu yang menjadi target utama kami.
Kae mengantar kami ke penginapan di sebuah kampung bernama Moni. Mayoritas
penduduk di sana hidup dengan bertani dan berkebun. Beberapa dari mereka
berjualan, termasuk berjualan suvenir. Tepat di sisi kanan dan belakang
penginapan kami, terdapat kebun cabai dan pepaya. Di depan penginapan kami, berdiri
satu bangunan rumah. Keluarga yang menghuni rumah itu kebetulan baru saja
kehilangan salah seorang anggota keluarganya. Namun, terlepas dari musibah yang
baru saja mereka alami, mereka tetap melayani kami dengan ramah. Mereka bahkan memenuhi
permintaan “khusus” kami untuk dibuatkan mi goreng. Satu lagi wujud keramahan
orang Ende.
Setelah mengarungi satu malam, pagi-pagi buta di keesokan harinya kami
beranjak menuju area parkir Gunung Kelimutu yang berjarak tidak terlalu jauh
dari rumah tempat kami menginap di kampung Moni. Setelah sempat tersesat dan
dibuat kelimpungan oleh banyaknya anak tangga yang curam, kami berenam berhasil
menemukan jalan yang benar dan bergabung dengan wisatawan lainnya menuju Gunung
Kelimutu. Untung saja kami mengikuti insting untuk tidak melanjutkan rute yang
salah. Hari yang mulai terang seiring terbitnya matahari turut membantu kami menemukan
petunjuk arah yang sulit dilihat dengan jelas pada saat subuh.
Perjalanan menuju puncak Gunung Kelimutu difasilitasi oleh jalur panjang
anak tangga, yang diapit pemandangan indah di setiap sisinya. Aku mendaki anak
tangga dengan terengah, sembari sesekali berhenti untuk mengambil nafas dan
mengabadikan pemandangan dalam foto. Dalam pendakian menuju ke puncak, kami
melewati Tiwu Ata Mbupu (Danau Orang Tua) dalam rangkulan awan. Sayang sekali
kami tidak bisa melihat dengan jelas danau itu, meskipun pemandangan danau yang
diselimuti awan juga memunculkan kesan tersendiri. Setibanya di puncak, kami
mendapati pemandangan luar biasa Tiwu Ata Polo (Danau Mempesona) berwarna hitam
dan Tiwu Nuwa Muri Koo Fai (Danau Pemuda dan Gadis) berwarna hijau toska dalam balutan matahari terbit. Mereka bagai lukisan dengan aura magis.
Di puncak Gunung Kelimutu, terdapat bangunan dari semen yang
kelihatannya dibangun sebagai tempat peristirahatan bagi para wisatawan. Aku duduk
di situ dan memandangi keindahan Kelimutu sembari merenunginya. Keindahan yang kulihat
pagi itu adalah kemewahan yang tidak serta merta bisa diperoleh
dengan uang, tapi yang juga harus diraih melalui setiap jejak yang ditinggalkan
di jalan setapak dan anak-anak tangga menuju ke sana.
Ironisnya, dari lokasi yang
sama aku juga bisa melihat, dengan lebih jelas, sampah-sampah yang berserakan.
Di atas sana banyak penjual yang menjajakan mi instan dan air minum dalam
kemasan serta minuman-minuman hangat lainnya. Keberadaan mereka membantu para
wisatawan yang belum sempat sarapan dan dibuat haus oleh jalur pendakian yang
menantang. Tapi kegiatan tersebut juga menyisakan sampah. Alangkah baiknya apabila
setiap menjual membawa turun sampah-sampah yang muncul dari kegiatannya.
Wisatawan juga bisa berperan aktif dengan mengantongi sampah-sampahnya dan
membuangnya di tempat sampah yang disediakan, seperti yang saat itu kami
lakukan.
Selepas dari Gunung
Kelimutu, kami beranjak menuju air terjun yang ada di kampung Moni. Sekalipun
hari sudah terang, kami tetap harus berjuang untuk mencapai air terjun itu.
Kali ini, kondisi medan yang licin yang menjadi tantangannya. Dengan
kehati-hatian, kami berhasil mencapai air terjun, menyegarkan diri dengan air
alami yang sejuk, dan kembali menuju penginapan untuk bersiap kembali ke kota
Ende.
Perjuangan yang sama
terbukti kembali menghasilkan ganjaran ketika kami pindah ke Nusa Tenggara
Timur. Kesenangan yang kami alami selama di Ende (dan khususnya Kelimutu)
ternyata tidak berhenti sampai di situ, karena tekad dan kegigihan kami dalam mengarungi
alam dibalas dengan berbagai pemandangan surgawi gugusan kepulauan di
sekeliling lautan biru dan toska di Pulau Kelor, Pulau Padar, Pulau Kanawa, dan
Gili Laba.
Kegairahan di sepanjang
petualangan juga kami alami dari perjumpaan dengan hewan-hewan, seperti komodo
yang kanibal dan kerbau hutan yang eksotis di Pulau Rinca, si jinak ikan pari
manta di Manta Point, berbagai jenis ikan besar maupun kecil di antara terumbu
karang di Pantai Pink, dan kawanan lumba-lumba (yang, pernah di suatu sore,
berenang-renang tepat di bawah perahu kami) di lautan dalam perjalanan menuju Labuan
Bajo. Maka, ketika kami menunggu perahu yang kami tumpangi berlayar dari
pelabuhan Labuan Bajo menuju Lombok di malam ketiga dari total delapan hari
yang kami rencanakan, kami pikir bagian terbaik dari perjalanan kami sudah
lewat, sampai kami bertemu dengan sebuah keluarga.
Malam itu, di parkiran sebuah
kantor tur di pesisir Labuan Bajo, Mike Newitt dan istrinya Kelly menggendong
kedua anak mereka, Jessica (3 tahun) dan Otto (2 tahun), ke atas sebuah mobil bak
terbuka berwarna hitam. Di bak mobil, sejumlah tas gunung dan bahan makanan
diletakkan, siap untuk diangkut ke atas perahu. Tak ada ekspresi canggung atau
risih di wajah mereka berempat saat menaiki mobil bak terbuka itu, sementara
kami menatap mereka dengan sedikit heran. Aku mengatakan pada diriku sendiri
bahwa aku sedang melihat keluarga traveller:
ayah-ibu petualang dan dua orang balitanya yang sedang menghabiskan momen orang
tua-anak mereka dalam sebuah perjalanan, yang akan bersama-sama dengan kami
selama beberapa hari.
Sejak perahu kami melepas
jangkar dari pelabuhan Labuan Bajo, kami berenam belajar, bermain, dan
berefleksi bersama keluarga asal London, Inggris, ini. Dalam perjalanan itu,
kami juga berjumpa dengan Dian, seorang gadis petualang asal Indonesia yang
pernah belajar di Australia, serta Melina dan Arthur, pasangan koki dan pelayan
restoran asal Selandia Baru. Di sepanjang perjalanan, kami semua saling
bertukar cerita (kebanyakan dengan Dian, karena kesamaan bahasa). Irvan adalah
yang paling sering bercengkerama dengan teman-teman kami dari luar negeri. Sisanya,
termasuk saya, sibuk bermain dengan Jessica dan Otto, menikmati peran sebagai “om
dan tante di atas perahu”.
Mike adalah seorang pribadi yang hangat. Ia sangat ekspresif, selalu
terlihat tersenyum menganga ketika difoto. Ia juga orang yang rileks, tetapi kritis
manakala diperlukan. Dari perjalanan gila yang dilakukannya bersama keluarganya,
aku menebak bahwa semboyan hidupnya adalah “you
only live once”. Sementara itu, Kelly adalah istri sekaligus ibu yang penuh
perhatian, terutama kepada anak-anaknya. Ia selalu berusaha memastikan segala
sesuatunya terkendali, kebutuhan keluarganya terpenuhi. Berlawanan dengan Mike,
Kelly agak pendiam dan waspada, bahkan cenderung tegang. Kedua anak mereka
adalah anak yang kompetitif. Jessica cenderung dominan, pemberani, cerewet, dan
proaktif. Ia senang mengusili Otto yang sedikit pemalu dan tidak secerewet dirinya.
Suatu ketika, di atas bukit
di Pulau Rinca, Mike bercerita kepada kami bagaimana ia dan keluarganya sampai
pada perjalanan yang sedang mereka tempuh. Ia dan Kelly hidup dan bekerja di London selama 14 tahun, sebelum
akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja,
menjual rumah mereka, dan menggunakan sebagian hasilnya untuk berkeliling dunia
bersama kedua anak mereka yang masih kecil. Ketika ditanya alasannya, Mike
menjawab bahwa ia dan Kelly ingin memberikan kesempatan kepada Jessica dan Otto untuk mengalami bertumbuh
di tengah petualangan, jauh dari hiruk pikuk perkotaan seperti London.
Mike merencanakan untuk
menempuh perjalanan bersama keluarganya selama satu tahun lebih, menjelajahi sejumlah negara indah, termasuk
Indonesia, sampai tiba waktunya bagi mereka untuk
kembali ke kehidupan "normal", di mana mereka harus menetap di suatu
tempat, bekerja, dan membiayai hidup mereka dan anak-anaknya. Saat tiba di
Indonesia, Mike sekeluarga sudah menjejak bulan ketujuh setelah sebelumnya
menjelajah Srilanka, Thailand, Vietnam, dan Kamboja. Selepas dari Indonesia,
mereka masih ingin menjelajahi Australia, Kanada, Nikaragua, Guatemala, dan
Kosta Rika.
Di atas bukit Pulau Rinca
pula, setelah melihat bagaimana Jessica dan Otto bermain dengan nyaman bersama
kami berenam plus Dian, Mike mengungkapkan penghargaan dan penghormatannya atas
keramahan yang diterima keluarganya, dan terutama anak-anaknya. Ia tidak secara
eksplisit menyebut kami, tapi ia merujuk pada orang-orang di Asia Tenggara, dan
khususnya orang Indonesia. Dalam penilaiannya, kehangatan orang Indonesia, baik
orang dewasanya maupun anak-anaknya, adalah sesuatu yang sulit ditemukan dari
orang-orang Eropa, tak terkecuali di negaranya sendiri.
Mike bercerita lebih lanjut
bagaimana anak-anak di Inggris kesulitan untuk bergaul dengan sesama anak
Inggris yang berbeda usia (terutama yang lebih tua). Ada semacam jarak yang
memisahkan anak-anak berbeda usia di sana untuk saling berinteraksi. Sementara
itu, orang dewasa di sana pada umumnya justru secara sadar membangun jarak itu
dengan mempersepsikan anak-anak (terutama anak kecil) sebagai biang onar dan
berisik.
Tapi selama di Asia Tenggara
dan Indonesia khususnya, Mike melihat bagaimana orang dewasa dan anak-anak setempat
tanpa canggung menyapa lebih dulu dan bermain dengan anak-anaknya tanpa
motivasi apapun kecuali hendak menjalin interaksi yang polos dan tulus. Kami sendiri
pernah menjadi saksinya. Suatu ketika, kami hendak keluar dari suatu pulau
setelah puas mandi di air terjun yang ada di pulau itu. Ketika kami tiba di
pantai, warga pulau yang hendak mengadakan upacara di pantai, terutama ibu-ibu
dan anak-anak, segera mengerubungi Mike sekeluarga, “merebut” Jessica dan Otto dari
tangan orang tuanya kemudian menatang dan mengayunkannya di udara, mencubiti
pipi mereka berdua, dan memberikan apa yang bisa mereka berikan sebagai hadiah
atau oleh-oleh.
Pada titik inilah, kami menyadari
sesuatu. Kabar baik seringkali
hadir dalam bentuk materi, seperti keindahan alam atau kekayaan kuliner. Ia juga
bisa muncul dalam wujud sesuatu yang tidak bisa diraba, seperti kesuksesan. Tapi
Mike memberikan kepada kita satu poin penting untuk direnungkan dan disyukuri: bahwa
kabar baik dari Indonesia untuk warga dunia datang pertama-tama dan terutama dari
kita, para warganya yang penuh keramahan dan santun. Perjalanan bersama Mike
dan keluarganya membuatku belajar untuk meyakini bahwa sebuah perjalanan mampu menghilangkan prasangka dan menciptakan
persaudaraan lintas generasi, budaya, keyakinan, dan warna kulit, karena satu
hal: ketulusan dalam berhubungan dengan sesama.
Pada akhirnya, turis asing yang berkunjung ke Indonesia akan menilai dan
merekomendasikan Indonesia tidak melulu karena keindahan alamnya, tapi terutama
dari kesan yang mereka ciptakan dari interaksi dengan kita. Kesan itulah yang
akan selalu mereka bawa dalam memori, seperti halnya kesan yang diungkapkan Mike
dan Kelly berikut ini:
We turn up to pretty much anywhere in South East Asia, (Sri Lanka
included) hotel, restaurant, bar, beach, bus station and within 15 seconds we
have had a friendly greeting, someone welcoming with a big smile. A walk
to the port in Riung, Flores is like a meet and greet with anyone who happens
to see us, this is an extremely family friendly society. Having 2 small
children is like wandering round with a passport to kindness and hospitality,
we probably embrace this far more than we did 7 months ago. I hope the
kids remember deep in the recesses of their minds the kindness shown by
virtually all the people we have meet on our travels till now. Top work
South East Asia and we’ll see you again before 2 years is out…..
(disalin dari blog perjalanan yang ditulis Mike dan Kelly)
Semoga dalam sikap
kita, warga dunia selalu bisa menemukan wajah Indonesia yang ramah dan santun.
***
NB:
Tulisan di atas diikutsertakan dalam kompetisi Menulis Kabar Baik yang diselenggarakan oleh Good News From Indonesia (GNFI).Tulisan juga bisa diakses di sini.
Update:
Pada 10 Agustus 2016, pemenang sudah diumumkan di Instagram GNFI dan tulisan di atas tidak memenangkan kompetisi, tetapi menjadi salah satu pilihan editor. Terima kasih atas semua dukungan dan apresiasi terhadap tulisan ini :)
Comments
Post a Comment