Kita Mulai dengan Menjadi Pemilih Ideal
Hidup seseorang adalah kumpulan cerita tentang berbagai konsekuensi dari responsnya terhadap setiap peristiwa. Hidupnya bisa menjadi indah apabila ia menggunakan kebebasannya untuk mengarahkan setiap responsnya demi menciptakan akibat-akibat yang baik baginya. Apabila hidup orang lain ikut terimbas secara positif, itu lebih bagus.
Gagasan tersebut bisa dicontohkan seperti berikut. Misalnya, Dedeh memilih berangkat lebih pagi demi menghindari kemacetan. Dengan begitu, ia bisa tiba lebih awal di kantornya untuk bekerja. Demikian halnya dengan Susan dan Wahyu yang sudah menyiapkan tabungan pendidikan untuk Geri bayinya, sehingga ketika waktunya tiba mereka bisa menyekolahkannya meski biaya pendidikan semakin mahal.
Pertanyaannya, sesederhana itukah hidup? Untuk menjawabnya, ada dua hal mendasar yang perlu dipahami.
Pertama, manusia hidup bersama manusia lainnya. Setiap orang memiliki kepentingan dan masing-masing berusaha untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingannya yang seringkali bertentangan. Kedua, kita memiliki jangkauan pengaruh yang terbatas atas hidup kita. Ia tidak dapat dibentuk hanya berdasarkan pilihan-pilihan kita. Keputusan orang lain ikut menentukan.
Merujuk kedua hal di atas, keberadaan pemerintah menjadi konsekuensi logis. Sebagai pihak yang diberi kewenangan untuk membuat kebijakan, pemerintah mengelola berbagai kepentingan dalam masyarakat. Lebih jauh, ia dapat menggiring respons kita terhadap suatu hal, dan bahkan mengubah konsekuensi dari respons yang kita ambil. Pemerintah juga berwenang untuk mengatur pemakaian berbagai sumber daya (aparatur, dana, data, peralatan, teknologi) yang dapat berdampak (positif maupun negatif) bagi banyak orang.
Makanya, pemilihan umum untuk menentukan orang-orang yang akan melaksanakan kewenangan-kewenangan itu menjadi peristiwa yang layak memperoleh respons kita. Yang lebih penting lagi adalah memiliki kriteria tentang orang-orang yang pantas memimpin.
Lihatlah apa yang terjadi jika masyarakat terlalu lama tidak memedulikan atau tidak memiliki petunjuk tentang kriteria pemimpin yang ideal. Hasilnya seperti fakta dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): 15 gubernur dan 50 bupati-walikota ditangkap KPK karena diduga melakukan korupsi. Itu lebih dari 60% dari jumlah daerah yang akan menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) serentak pada 15 Februari 2017 (7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten). Maka, sebelum anda dan saya menentukan respons dalam pilkada serentak tahun 2017, ada baiknya kita mulai memikirkan kriteria itu. Mari memulainya dengan merenungkan hakikat manusia.
Sama seperti kita, pemimpin juga manusia, yang diciptakan untuk memuliakan Tuhan-nya melalui ibadah secara vertikal (antara dia dan Tuhan-nya) dan horizontal (yang diwujudkan dalam interaksi sehari-hari dengan alam dan setiap manusia lainnya, tanpa membedakan apapun latar belakangnya). Demi tujuan itu, segala hal, termasuk kekuasaan dan kewenangan, dipandang tak lebih dari sekadar sarana.
Maka, berangkat dari kesadaran bahwa Pencipta-nya yang Maha Besar telah memberinya kesempatan untuk ikut membentuk kehidupan—meski pada dimensi yang sangat terbatas, pemimpin membangun sikap positif terhadap dirinya dan lalu orang lain, yang mewujud dalam kepercayaan diri dan dialog yang kaya trust, hangat, dan produktif. Itu hanya bisa terjadi karena ia mengenal dirinya dan rakyatnya: kekuatan, kelemahan, dan nilai pribadi yang diyakini. Karena itu pula, ia berani tampil sebagai dirinya sendiri, dengan kejujuran, tanpa topeng.
Dengan filosofi yang sama, ia berani menetapkan tujuan-tujuan nyata yang besar dan menginspirasi, yang akan meningkatkan kehidupan rakyatnya. Karena mengetahui benar yang ia tuju, ia fasih menjelaskan tujuan-tujuan itu kepada tim dan rakyatnya yang kemudian meyakininya sebagai tujuan bersama. Ia menginspirasi masyarakatnya untuk bekerja keras dan, yang tak kalah penting, bekerja bersama. Ia berani bermimpi besar karena ia tidak mempertaruhkan apapun. Yang ia miliki hanyalah niat baik dan segala daya untuk mewujudkannya.
Tujuan-tujuan itu mengarahkan setiap keputusannya. Tak akan ada ragu dalam tindakannya, yang tak pernah dikendalikan oleh pujian atau kritik. Ia menyadari bahwa tanggung jawabnya bukanlah memuaskan setiap orang. Karena itu pula, ia tidak takut kehilangan jabatannya dan akan selalu melakukan tindakan yang dianggapnya benar, meski tidak populer. Seperti halnya ia tidak takut menghadapi setiap perubahan yang mungkin terjadi, karena ia selalu siap menyesuaikan dan memperbarui cara-caranya.
Pemimpin seperti ini hanya akan muncul dari usaha seumur hidup. Maka, para pemimpin ideal adalah mereka yang telah menunjukkan sikap-sikap di atas secara konsisten (dalam kemudahan, dan terutama di tengah hujan tantangan) untuk durasi yang panjang.
Akhirnya, pilkada serentak tahun 2017 bukan hanya soal memilih pemimpin. Itu juga tentang bagaimana anda dan saya menggunakan kebebasan untuk memilih orang-orang yang akan menghemat waktu Dedeh di jalan dan menyediakan pendidikan gratis yang berkualitas bagi Geri.
Jika ternyata calon kepala daerah seperti itu tidak ada, minimal kita tahu bagaimana cara menyaring Pemimpin Ideal Untuk Daerah.
***
Comments
Post a Comment