Emosi atau perasaan merupakan instrumen paling primitif dari keberadaan manusia. Maksudnya adalah manusia mengungkapkan eksistensinya, "diri"-nya, antara lain melalui berbagai macam emosi: senang, marah, takut, jijik, dan banyak lainnya. Instrumen lainnya untuk mengungkapkan eksistensi antara lain pemikiran.
Maka, jika emosi sampai dikait-kaitkan dengan keberadaan manusia, emosi tentulah sangat penting bagi manusia. Pentingnya emosi bisa dirumuskan sebagai berikut: manusia menjadi dirinya sendiri dengan mengekspresikan emosi yang benar-benar dirasakannya. Sebaliknya dapat dikatakan bahwa dengan mengungkapkan emosi yang berbeda dengan yang sungguh-sungguh dirasakannya dalam dirinya, seseorang sedang membohongi dirinya sendiri. Ia sedang menyangkal keberadaan "diri"-nya. Coba bayangkan seseorang yang hidupnya sangat bahagia, tetapi ia berupaya untuk merasa sedih. Betapa mengerikannya itu.
Menyambung teori di atas, lantas bagaimana dengan seseorang yang menginginkan orang lain untuk merasakan emosi yang sama dengan yang dirasakan oleh seseorang tersebut? Bagaimana sebaiknya orang lain itu merespons keinginan tersebut? Saya, si manusia apa adanya, mengusulkan sebuah jawaban: bersikaplah apa adanya.
Saya percaya bahwa jawaban di atas adalah sikap terbaik. Ketika merenungkan jawaban itu, saya terngiang prinsip berpikir menang-menang yang dipopulerkan oleh Stephen Covey. Mengapa menang-menang? Karena kita menang dan orang lain juga menang. Bagaimana bisa? Apa yang dimenangkan, dan bagaimana memenangkan itu? Mari mengupasnya.
Jika dua orang berbeda pendapat, keduanya bisa merasa sama-sama menang tanpa harus saling memaksakan pendapat satu sama lain apabila satu orang dapat tetap berpegang pada prinsipnya dan mengutarakan pendapatnya (yang berbeda) secara jujur kepada satu orang lainnya, sementara satu orang lainnya itu merasa pendapatnya didengarkan dengan sungguh-sungguh oleh satu orang yang disebut terdahulu. Begitu pula sebaliknya. Kuncinya ada pada keseimbangan antara kepercayaan diri dan empati dari kedua orang tersebut. Kepercayaan diri untuk berani jujur terhadap diri sendiri dan orang lain mengenai pendapat yang menurutnya tepat. Empati untuk mau mendengarkan dan memahami mengapa orang lainnya berpendapat seperti yang diungkapkan orang lain itu.
Mengenai emosi, prinsip di atas berlaku sama. Apabila dua orang tidak merasakan emosi yang sama terhadap suatu dorongan yang sama (entah itu peristiwa, ucapan, dan lainnya), maka tak ada yang keliru dengan itu sepanjang emosi itu benar-benar murni, tidak dibuat-buat. Apalagi jika mengingat bahwa manusia sangat kompleks dan beragam. Ada yang perasa, sementara lainnya pemikir. Si perasa tentu lebih peka terhadap berbagai dorongan yang ditujukan untuk direspons oleh perasaan. Sementara si pemikir lebih tanggap terhadap impuls berbentuk ide, misalnya.
Maka, jika kasusnya seperti di atas, di mana seseorang menginginkan orang lain untuk merasakan emosi yang sama dengan yang dirasakannya, maka supaya keduanya sama-sama menang, orang lain ini selayaknya jujur terhadap perasaannya yang berbeda dengan perasaan orang yang disebut terdahulu, sembari tetap mengakui dan berusaha memahami perasaan orang yang disebut lebih dulu itu.
Kita seharusnya lebih menginginkan orang lain menjadi dirinya sendiri ketimbang menginginkan mereka memiliki emosi seperti yang kita inginkan, sembari di saat yang sama kita juga berhak untuk didengarkan, dipahami, dan diberi empati oleh orang lain itu atas emosi yang kita rasakan. Sebab, pada akhirnya perbedaan emosi itulah yang membuat hidup menjadi lengkap dan berwarna.
Lagipula, bukankah perbedaan emosi itu akan mendorong manusia untuk terus-menerus saling melengkapi, dan karenanya menjadi saling membutuhkan?
***
Maka, jika emosi sampai dikait-kaitkan dengan keberadaan manusia, emosi tentulah sangat penting bagi manusia. Pentingnya emosi bisa dirumuskan sebagai berikut: manusia menjadi dirinya sendiri dengan mengekspresikan emosi yang benar-benar dirasakannya. Sebaliknya dapat dikatakan bahwa dengan mengungkapkan emosi yang berbeda dengan yang sungguh-sungguh dirasakannya dalam dirinya, seseorang sedang membohongi dirinya sendiri. Ia sedang menyangkal keberadaan "diri"-nya. Coba bayangkan seseorang yang hidupnya sangat bahagia, tetapi ia berupaya untuk merasa sedih. Betapa mengerikannya itu.
Menyambung teori di atas, lantas bagaimana dengan seseorang yang menginginkan orang lain untuk merasakan emosi yang sama dengan yang dirasakan oleh seseorang tersebut? Bagaimana sebaiknya orang lain itu merespons keinginan tersebut? Saya, si manusia apa adanya, mengusulkan sebuah jawaban: bersikaplah apa adanya.
Saya percaya bahwa jawaban di atas adalah sikap terbaik. Ketika merenungkan jawaban itu, saya terngiang prinsip berpikir menang-menang yang dipopulerkan oleh Stephen Covey. Mengapa menang-menang? Karena kita menang dan orang lain juga menang. Bagaimana bisa? Apa yang dimenangkan, dan bagaimana memenangkan itu? Mari mengupasnya.
Jika dua orang berbeda pendapat, keduanya bisa merasa sama-sama menang tanpa harus saling memaksakan pendapat satu sama lain apabila satu orang dapat tetap berpegang pada prinsipnya dan mengutarakan pendapatnya (yang berbeda) secara jujur kepada satu orang lainnya, sementara satu orang lainnya itu merasa pendapatnya didengarkan dengan sungguh-sungguh oleh satu orang yang disebut terdahulu. Begitu pula sebaliknya. Kuncinya ada pada keseimbangan antara kepercayaan diri dan empati dari kedua orang tersebut. Kepercayaan diri untuk berani jujur terhadap diri sendiri dan orang lain mengenai pendapat yang menurutnya tepat. Empati untuk mau mendengarkan dan memahami mengapa orang lainnya berpendapat seperti yang diungkapkan orang lain itu.
Mengenai emosi, prinsip di atas berlaku sama. Apabila dua orang tidak merasakan emosi yang sama terhadap suatu dorongan yang sama (entah itu peristiwa, ucapan, dan lainnya), maka tak ada yang keliru dengan itu sepanjang emosi itu benar-benar murni, tidak dibuat-buat. Apalagi jika mengingat bahwa manusia sangat kompleks dan beragam. Ada yang perasa, sementara lainnya pemikir. Si perasa tentu lebih peka terhadap berbagai dorongan yang ditujukan untuk direspons oleh perasaan. Sementara si pemikir lebih tanggap terhadap impuls berbentuk ide, misalnya.
Maka, jika kasusnya seperti di atas, di mana seseorang menginginkan orang lain untuk merasakan emosi yang sama dengan yang dirasakannya, maka supaya keduanya sama-sama menang, orang lain ini selayaknya jujur terhadap perasaannya yang berbeda dengan perasaan orang yang disebut terdahulu, sembari tetap mengakui dan berusaha memahami perasaan orang yang disebut lebih dulu itu.
Kita seharusnya lebih menginginkan orang lain menjadi dirinya sendiri ketimbang menginginkan mereka memiliki emosi seperti yang kita inginkan, sembari di saat yang sama kita juga berhak untuk didengarkan, dipahami, dan diberi empati oleh orang lain itu atas emosi yang kita rasakan. Sebab, pada akhirnya perbedaan emosi itulah yang membuat hidup menjadi lengkap dan berwarna.
Lagipula, bukankah perbedaan emosi itu akan mendorong manusia untuk terus-menerus saling melengkapi, dan karenanya menjadi saling membutuhkan?
***
Comments
Post a Comment