Sapiens menceritakan bagaimana spesies manusia bernama Homo sapiens mampu mempertahankan diri dari kepunahan (tidak seperti spesies manusia lainnya), dan bahkan berkembang hingga menguasai dunia (baca: memunculkan berbagai pencapaian luar biasa di berbagai bidang dari masa ke masa) sampai saat ini. Argumen utama si penulis: hal itu dikarenakan Homo sapiens mampu meyakini sesuatu yang bersifat imajinatif, abstrak, misterius. Misalnya: prinsip, nilai, cita-cita, ide. Menurut Harari, kemampuan itu mendorong manusia untuk bekerja sama dalam jumlah besar. Merenungkan pandangan tersebut, pikiran saya mengembara.
Sebelum tahun 1908, orang-orang bumiputra yang hidup di Hindia Belanda berjuang melawan penjajah secara provinsial, dengan memobilisasi latar belakang kesukuan masing-masing. Belum terbayang upaya untuk menggelorakan identitas bersama untuk mendorong perlawanan serentak di seluruh wilayah Hindia Belanda terhadap pemerintah kolonial Belanda. Baru setelah organisasi bernama Boedi Oetomo dan Perhimpoenan Hindia (kelak berganti nama menjadi Perhimpoenan Indonesia) didirikan, orang-orang pribumi mulai membayangkan suatu komunitas bangsa, sebuah imagined community seperti dalam pandangan Benedict Anderson, yang kelak akan disebut Indonesia. Suatu kumpulan orang dari beragam latar belakang, yang disatukan oleh berbagai kesamaan, terutama kesamaan tanah air, dan keinginan kuat untuk membebaskan diri dari penjajahan bangsa asing.
Sebelum 28 Oktober 1928, orang-orang bumiputra di Hindia Belanda saling berbicara dalam bahasa ibunya masing-masing. Perbedaan bahasa menjadi salah satu ganjalan dalam berkolaborasi dan meraih berbagai tujuan, apalagi tujuan sebesar meraih kemerdekaan dari bangsa asing. Baru setelah jong-jong (para pemuda) dari berbagai penjuru nusantara--dengan segala kerendahan hati dan keikhlasan mereka untuk melepaskan kepentingan golongan demi kepentingan yang lebih besar--menyepakati untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, orang Indonesia mulai memiliki bahasa yang dipakai oleh seluruh rakyat Indonesia, bahasa yang menjadi salah satu identitas bersama, bahasa perjuangan.
Sebelum 17 Agustus 1945, kemerdekaan bangsa Indonesia, yang kemudian menjadi pondasi bagi terbentuknya pemerintahan dari, oleh, dan untuk bangsa Indonesia, masih merupakan misteri. Baru setelah melewati berbagai upaya dan drama (termasuk peristiwa Rengasdengklok), dua perwakilan rakyat Indonesia (Soekarno dan Mohammad Hatta) dengan mengatasnamakan seluruh bangsa Indonesia mewujudkan tindakan paling heroik yang pernah dilakukan bangsa Indonesia sepanjang sejarahnya: menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia dan Republik Indonesia, yang sebelum tahun 1908, 1928, dan 1945 hanyalah sebuah konsep, tak lebih dari imajinasi, kini adalah entitas nyata. Namun, justru karena konsep bernama Indonesia itulah, Republik Indonesia ada. Konsep yang mampu terus-menerus dicita-citakan dan diperjuangkan dengan melalui berbagai kesulitan dan kegetiran dalam periode yang sangat panjang karena diyakini oleh berjuta rakyat bumiputra yang merasa disatukan oleh identitas keindonesiaan.
Orang dapat berargumen bahwa kemerdekaan Indonesia terbantu oleh kekalahan Jepang dari Sekutu. Hal ini tidak dapat disangkal. Tapi yang juga tidak dapat disangkal adalah bahwa setelah proklamasi, rakyat Indonesia berulang kali mengalami percobaan penjajahan kembali oleh Belanda, dan rakyat Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya.
Uraian di atas menegaskan bahwa imajinasi mampu melahirkan sesuatu yang baru, besar, dan heroik, sekaligus menggerakkan banyak orang untuk terlibat dalam kelahiran itu. Dan justru karena upaya dari banyak orang itu, maka sesuatu yang besar bisa terwujud. Orang-orang yang bergerak dari ketergantungan menuju kemandirian, dan kemudian mewujudkan sinergi dalam kesalingtergantungan, sesuai gagasan Stephen Covey.
Pola yang sama dapat ditemukan pada berbagai peristiwa besar di berbagai bidang yang terjadi sepanjang sejarah manusia, seperti pendirian Serikat Yesus (yang bertahan dan berkembang sampai saat ini--hampir 500 tahun--karena heroisme dan spirit mengejar semakin bertambahnya kemuliaan Tuhan [baca: Heroic Leadership: Best Practices from a 450-Year-Old Company That Changed the World karangan Chris Lowney]), Revolusi Perancis (dengan cita-cita mewujudkan republik dan kesetaraan di antara warga negara), pembentukan United States Steel Corporation (dengan ide menyatukan produsen-produsen besar baja dan besi di Amerika Serikat), maupun lahirnya iPhone (dengan keinginan menyatukan fungsi iPod, telepon genggam, dan komunikator internet).
Pesannya, jangan menyepelekan cita-cita heroik dan kolaborasi dalam mewujudkannya. Sebab, banyak hal yang mengelilingi hidup kita berawal dari cita-cita yang diwujudkan dengan kerja sama banyak orang. Sebab, itulah antara lain yang memberi makna bagi hidup kita.
***
Comments
Post a Comment