Smart people are sexy.
Beberapa tahun yang lalu, saya memposting kalimat di atas di laman Facebook saya. Muncul di otak saya setelah mengikuti sebuah diskusi bertemakan hukum, kalimat itu merupakan buah dari kesan yang saya ciptakan tentang seorang perempuan senior pendiri salah satu firma hukum terbesar di Indonesia yang menjadi pembicara pada diskusi tersebut.
Melihat dan mendengarkan seseorang yang cerdas sepertinya bercerita, menyimak caranya bertutur, mengamati bagaimana ia mengatur nada dan jeda ketika berbicara, dan mengolah isi penuturannya, memunculkan rasa kagum dan, selanjutnya, ketertarikan dalam diri saya terhadapnya. Manusia memang seringkali tertarik terhadap sesamanya yang unik, yang berbeda, yang berada di luar batas, yang lebih dari orang kebanyakan, yang "spesial". Dan kata "seksi" memang sengaja saya pilih untuk meluapkan ekspresi dari perasaan kagum dan ketertarikan itu.
Beberapa tahun kemudian, saya ditanya oleh bakal istri: "hal-hal apa yang membuat kamu menyukai seorang perempuan?" Saya menyebut beberapa hal: tentu saja kecerdasan, lalu fisik (saya tak munafik, meski bagi saya fisik bukanlah parameter utama). Lalu, saya menyambung, "ia juga harus punya hati yang baik". Jika ketiga parameter itu dibuat ranking, urutannya di mata saya adalah: hati yang baik, kecerdasan, lalu fisik. Dan bagi saya parameter-parameter ini berlaku universal sebagai penanda manusia yang spesial: perempuan maupun laki-laki.
Tentu perlu dipahami juga bahwa kecerdasan dan fisik dipengaruhi oleh gen, diturunkan oleh para leluhur kita, sehingga kita tidak memiliki kendali penuh dalam memilih bahan bakunya. Tapi mengenai "hati yang baik", mestinya setiap orang memiliki bahan baku yang sama. Masing-masing dari kita yang kemudian akan memilih cara yang berbeda-beda untuk mengembangkannya.
Terus, apa sih "hati yang baik"?
Saya sendiri sulit mendefinisikannya. Lebih mudah dan nyaman bagi saya untuk menunjukkan contoh-contoh perbuatan yang merupakan wujud dari "hati yang baik" itu alih-alih mendefinisikannya. Tentang ini, saya mengingat beberapa kisah pribadi.
Saya pernah mengikuti suatu kursus, di mana tutornya sering terganggu dalam mengajar karena tidak tersedianya spidol yang berfungsi normal untuk menulis materi ajar di papan tulis. Suatu ketika, seorang teman peserta kursus yang sama membawakan beberapa buah spidol dan memberikannya kepada sang tutor, sehingga dia bisa menjelaskan materi dan kami semua bisa belajar tanpa terganggu soal spidol.
Di kali lain, saya menyaksikan seorang pemuda keluar dari gereja setelah misa harian. Ia menunggu bis yang akan membawanya ke kampus untuk menghadiri kuliah yang akan segera dimulai. Lalu, ia melihat seorang nenek yang kesulitan menyeberang jalan. Si pemuda lantas menyeberangkan sang nenek melalui zebra cross, dan dalam prosesnya merelakan sebagian waktunya hilang.
Suatu ketika, saya berkumpul dengan teman-teman. Kami sedang asyik mengobrol dan tertawa-tawa, lalu tiba-tiba salah seorang teman menjawab panggilan di handphone-nya, kemudian berdiri dan beringsut menjauh dengan ekspresi wajah yang berubah sama sekali (dari ceria menjadi tegang). Yang lainnya masih asyik dengan obrolan mereka, tapi salah satu dari kami melihat perubahan ekspresi sang teman, dan kemudian menghampirinya lalu menanyakan "semuanya baik-baik, bro?" "Aku baru dapat telepon dari orang asing. Katanya adikku diculik." "Adikmu mestinya sekarang ada di mana? Coba kontak keluargamu yang biasanya bersama adikmu". Setelah menelepon ke sana dan ke sini, diketahui bahwa si adik ada di rumah bersama keluarga. Orang asing itu hanya berusaha menipu si teman.
Pernah di suatu siang, saya mengamati beberapa rekan kerja sedang sibuk bekerja. Salah satunya bahkan sangat sibuk sehingga ia terpaksa melewatkan waktu makan siang. Salah seorang rekannya sengaja mengambilkan makan siangnya untuknya supaya ia bisa menyantapnya setelah tidak lagi terlalu sibuk.
Saya juga pernah mengetahui seseorang yang tekun berdoa untuk keluarganya dan teman-temannya. Ia bahkan kerap spontan berdoa dalam sunyi segera setelah mendengar orang lain yang dikenalnya sedang berkesusahan.
Dari semua contoh di atas, dan contoh-contoh lain yang mungkin bisa kita gali sendiri, mungkin "hati yang baik" memiliki sifat-sifat ini: peka, peduli, mudah menggerakkan mulut, tangan, dan kaki untuk berbuat baik, dan ikhlas.
Terlepas dari seberapa besar atau kecil perbuatan yang digerakkan oleh hati yang baik, nilainya menjadi besar karena niat, cinta, dan pengorbanan di baliknya.
Caring and kind people are sexier.
***
Beberapa tahun yang lalu, saya memposting kalimat di atas di laman Facebook saya. Muncul di otak saya setelah mengikuti sebuah diskusi bertemakan hukum, kalimat itu merupakan buah dari kesan yang saya ciptakan tentang seorang perempuan senior pendiri salah satu firma hukum terbesar di Indonesia yang menjadi pembicara pada diskusi tersebut.
Melihat dan mendengarkan seseorang yang cerdas sepertinya bercerita, menyimak caranya bertutur, mengamati bagaimana ia mengatur nada dan jeda ketika berbicara, dan mengolah isi penuturannya, memunculkan rasa kagum dan, selanjutnya, ketertarikan dalam diri saya terhadapnya. Manusia memang seringkali tertarik terhadap sesamanya yang unik, yang berbeda, yang berada di luar batas, yang lebih dari orang kebanyakan, yang "spesial". Dan kata "seksi" memang sengaja saya pilih untuk meluapkan ekspresi dari perasaan kagum dan ketertarikan itu.
Beberapa tahun kemudian, saya ditanya oleh bakal istri: "hal-hal apa yang membuat kamu menyukai seorang perempuan?" Saya menyebut beberapa hal: tentu saja kecerdasan, lalu fisik (saya tak munafik, meski bagi saya fisik bukanlah parameter utama). Lalu, saya menyambung, "ia juga harus punya hati yang baik". Jika ketiga parameter itu dibuat ranking, urutannya di mata saya adalah: hati yang baik, kecerdasan, lalu fisik. Dan bagi saya parameter-parameter ini berlaku universal sebagai penanda manusia yang spesial: perempuan maupun laki-laki.
Tentu perlu dipahami juga bahwa kecerdasan dan fisik dipengaruhi oleh gen, diturunkan oleh para leluhur kita, sehingga kita tidak memiliki kendali penuh dalam memilih bahan bakunya. Tapi mengenai "hati yang baik", mestinya setiap orang memiliki bahan baku yang sama. Masing-masing dari kita yang kemudian akan memilih cara yang berbeda-beda untuk mengembangkannya.
Terus, apa sih "hati yang baik"?
Saya sendiri sulit mendefinisikannya. Lebih mudah dan nyaman bagi saya untuk menunjukkan contoh-contoh perbuatan yang merupakan wujud dari "hati yang baik" itu alih-alih mendefinisikannya. Tentang ini, saya mengingat beberapa kisah pribadi.
Saya pernah mengikuti suatu kursus, di mana tutornya sering terganggu dalam mengajar karena tidak tersedianya spidol yang berfungsi normal untuk menulis materi ajar di papan tulis. Suatu ketika, seorang teman peserta kursus yang sama membawakan beberapa buah spidol dan memberikannya kepada sang tutor, sehingga dia bisa menjelaskan materi dan kami semua bisa belajar tanpa terganggu soal spidol.
Di kali lain, saya menyaksikan seorang pemuda keluar dari gereja setelah misa harian. Ia menunggu bis yang akan membawanya ke kampus untuk menghadiri kuliah yang akan segera dimulai. Lalu, ia melihat seorang nenek yang kesulitan menyeberang jalan. Si pemuda lantas menyeberangkan sang nenek melalui zebra cross, dan dalam prosesnya merelakan sebagian waktunya hilang.
Suatu ketika, saya berkumpul dengan teman-teman. Kami sedang asyik mengobrol dan tertawa-tawa, lalu tiba-tiba salah seorang teman menjawab panggilan di handphone-nya, kemudian berdiri dan beringsut menjauh dengan ekspresi wajah yang berubah sama sekali (dari ceria menjadi tegang). Yang lainnya masih asyik dengan obrolan mereka, tapi salah satu dari kami melihat perubahan ekspresi sang teman, dan kemudian menghampirinya lalu menanyakan "semuanya baik-baik, bro?" "Aku baru dapat telepon dari orang asing. Katanya adikku diculik." "Adikmu mestinya sekarang ada di mana? Coba kontak keluargamu yang biasanya bersama adikmu". Setelah menelepon ke sana dan ke sini, diketahui bahwa si adik ada di rumah bersama keluarga. Orang asing itu hanya berusaha menipu si teman.
Pernah di suatu siang, saya mengamati beberapa rekan kerja sedang sibuk bekerja. Salah satunya bahkan sangat sibuk sehingga ia terpaksa melewatkan waktu makan siang. Salah seorang rekannya sengaja mengambilkan makan siangnya untuknya supaya ia bisa menyantapnya setelah tidak lagi terlalu sibuk.
Saya juga pernah mengetahui seseorang yang tekun berdoa untuk keluarganya dan teman-temannya. Ia bahkan kerap spontan berdoa dalam sunyi segera setelah mendengar orang lain yang dikenalnya sedang berkesusahan.
Dari semua contoh di atas, dan contoh-contoh lain yang mungkin bisa kita gali sendiri, mungkin "hati yang baik" memiliki sifat-sifat ini: peka, peduli, mudah menggerakkan mulut, tangan, dan kaki untuk berbuat baik, dan ikhlas.
Terlepas dari seberapa besar atau kecil perbuatan yang digerakkan oleh hati yang baik, nilainya menjadi besar karena niat, cinta, dan pengorbanan di baliknya.
Caring and kind people are sexier.
***
Comments
Post a Comment