Dalam hidup, kita mengambil keputusan-keputusan tentang berbagai hal. Tak terkecuali terkait karir.
Pada saat membuat sebuah keputusan mengenai suatu karir, dan di masa-masa awal menjalaninya, tak jarang kita merasa yakin dan puas akan pilihan tersebut, bahwa itulah karir yang kita impikan.
Perasaan itu bertahan, sampai kesulitan-kesulitan menghadang. Kesulitan-kesulitan, baik yang masih bisa kita tangani, maupun yang betul-betul berada di luar kendali kita.
***
Di sisi lain, saya sering mendengar kisah tentang orang-orang dengan pencapaian yang mengagumkan, yang seringkali tidak pernah membayangkan diri mereka meraih pencapaian itu, tak terkecuali karena awalnya mereka memiliki mimpi yang berbeda.
Pimpinan di tempat saya bekerja adalah seorang di antaranya.
Bercita-cita menjadi pengajar atau peneliti, selama setahun pertama sejak lulus menjadi sarjana, beliau berusaha mati-matian mendapatkan beasiswa master. Mestinya itu bukan perkara yang terlalu sulit bagi seseorang yang dianugerahi otak yang cemerlang (pernah menjadi pelajar terbaik se-provinsi di Jawa) dan memiliki tekad yang sangat kuat. Namun, ia justru berakhir menjadi seorang karyawan di sebuah perusahaan industri, dunia yang awalnya justru beliau hindari, sampai di kemudian hari ia menjadi direktur utama di perusahaan tersebut.
Jalan hidup memang misterius. Di posisinya saat ini sebagai pimpinan perusahaan swasta, beliau justru telah, dan saya yakin masih akan terus, menciptakan dampak dengan melakukan apa yang menjadi cita-citanya semula: mengajar banyak orang, khususnya anak muda dan para calon pemimpin. Di posisinya saat ini, ia bahkan bisa melakukannya dengan jangkauan yang bisa jadi jauh melebihi jangkauan yang ia miliki seandainya ia dulu menjadi seorang pengajar.
***
Lalu, apakah orang-orang dengan pencapaian mengagumkan ini tidak pernah mengalami kesulitan? Tentu saja, setiap manusia yang masih bernapas pernah mengalaminya. Gagal mewujudkan cita-cita awal, seperti kisah pimpinan saya di atas, tentu sulit diterima dan dijalani. Namun, justru pada titik inilah kisah hidup kita ditulis, diri kita dibentuk.
Mereka yang akhirnya mencapai puncak, mampu menerima dan berdamai dengan kegagalan dalam mewujudkan cita-citanya semula. Hal yang tak mudah, karena yang dibicarakan di sini adalah kegagalan yang dialami setelah berusaha mati-matian meraih cita-cita yang diimpikan, bukan kegagalan karena hanya berdiam diri. Nilai kegagalan ini menjadi besar karena banyaknya upaya yang sudah dicurahkan.
Setelah berdamai dengan masa lalu, mereka menatap masa depan, menjalani kenyataan, dan berupaya memberikan yang terbaik dalam hidup. Rasanya seperti berkata ke diri sendiri "saya kecewa dan berhenti di sini, atau saya menerima dan melanjutkan hidup semaksimal mungkin, toh cita-cita saya di awal tetap gagal terwujud". Dihadapkan pada pilihan seperti itu, seorang manusia waras (bukan orang gila atau mayat hidup) tentu memilih untuk meneruskan hidup.
Manakala kesulitan atau krisis datang, mereka bertahan sekalipun lahir-batin tersiksa. Mereka tidak melarikan diri, melainkan terus berjalan di jalur itu sampai garis finis bernama ujung krisis (apapun hasilnya, baik atau buruk) terlihat. Merekalah gambaran nyata dari ungkapan crisis will make you or break you; when the going gets tough, the tough gets going.
***
Sekadar membayangkan berada di dalam kesulitan maupun mengalami kegagalan saja rasanya tidak enak, apalagi benar-benar mengalaminya. Terus, bagaimana mereka yang diceritakan di atas tak hanya bertahan dalam kesulitan maupun kegagalan, tapi malah bisa keluar dari situ sebagai pemenang?
Keyakinan.
Jawabnya adalah keyakinan tanpa putus bahwa Tuhan telah menyiapkan bagi kita suatu rencana terbaik menurut ukuran-Nya, bahwa semua kesulitan yang kita alami adalah bagian dari rencana itu. Sebuah rencana yang jika kita jalani mungkin mendatangkan ganjaran berkali-kali lipat dari pengorbanan yang kita berikan untuk menempuh rencana itu, sebagaimana kisah Nabi Ayub.
Keyakinan yang menjadi bantalan atau sandaran kita setiap kali kita terjatuh atau terhempas oleh kesulitan hidup.
Keyakinan yang tak henti memberi semangat dan energi untuk meneruskan maraton kehidupan dengan berbagai rintangannya.
Keyakinan yang menegaskan bahwa Tuhan senantiasa merawat kita, ciptaan-Nya.
***
Pada saat membuat sebuah keputusan mengenai suatu karir, dan di masa-masa awal menjalaninya, tak jarang kita merasa yakin dan puas akan pilihan tersebut, bahwa itulah karir yang kita impikan.
Perasaan itu bertahan, sampai kesulitan-kesulitan menghadang. Kesulitan-kesulitan, baik yang masih bisa kita tangani, maupun yang betul-betul berada di luar kendali kita.
***
Di sisi lain, saya sering mendengar kisah tentang orang-orang dengan pencapaian yang mengagumkan, yang seringkali tidak pernah membayangkan diri mereka meraih pencapaian itu, tak terkecuali karena awalnya mereka memiliki mimpi yang berbeda.
Pimpinan di tempat saya bekerja adalah seorang di antaranya.
Bercita-cita menjadi pengajar atau peneliti, selama setahun pertama sejak lulus menjadi sarjana, beliau berusaha mati-matian mendapatkan beasiswa master. Mestinya itu bukan perkara yang terlalu sulit bagi seseorang yang dianugerahi otak yang cemerlang (pernah menjadi pelajar terbaik se-provinsi di Jawa) dan memiliki tekad yang sangat kuat. Namun, ia justru berakhir menjadi seorang karyawan di sebuah perusahaan industri, dunia yang awalnya justru beliau hindari, sampai di kemudian hari ia menjadi direktur utama di perusahaan tersebut.
Jalan hidup memang misterius. Di posisinya saat ini sebagai pimpinan perusahaan swasta, beliau justru telah, dan saya yakin masih akan terus, menciptakan dampak dengan melakukan apa yang menjadi cita-citanya semula: mengajar banyak orang, khususnya anak muda dan para calon pemimpin. Di posisinya saat ini, ia bahkan bisa melakukannya dengan jangkauan yang bisa jadi jauh melebihi jangkauan yang ia miliki seandainya ia dulu menjadi seorang pengajar.
***
Lalu, apakah orang-orang dengan pencapaian mengagumkan ini tidak pernah mengalami kesulitan? Tentu saja, setiap manusia yang masih bernapas pernah mengalaminya. Gagal mewujudkan cita-cita awal, seperti kisah pimpinan saya di atas, tentu sulit diterima dan dijalani. Namun, justru pada titik inilah kisah hidup kita ditulis, diri kita dibentuk.
Mereka yang akhirnya mencapai puncak, mampu menerima dan berdamai dengan kegagalan dalam mewujudkan cita-citanya semula. Hal yang tak mudah, karena yang dibicarakan di sini adalah kegagalan yang dialami setelah berusaha mati-matian meraih cita-cita yang diimpikan, bukan kegagalan karena hanya berdiam diri. Nilai kegagalan ini menjadi besar karena banyaknya upaya yang sudah dicurahkan.
Setelah berdamai dengan masa lalu, mereka menatap masa depan, menjalani kenyataan, dan berupaya memberikan yang terbaik dalam hidup. Rasanya seperti berkata ke diri sendiri "saya kecewa dan berhenti di sini, atau saya menerima dan melanjutkan hidup semaksimal mungkin, toh cita-cita saya di awal tetap gagal terwujud". Dihadapkan pada pilihan seperti itu, seorang manusia waras (bukan orang gila atau mayat hidup) tentu memilih untuk meneruskan hidup.
Manakala kesulitan atau krisis datang, mereka bertahan sekalipun lahir-batin tersiksa. Mereka tidak melarikan diri, melainkan terus berjalan di jalur itu sampai garis finis bernama ujung krisis (apapun hasilnya, baik atau buruk) terlihat. Merekalah gambaran nyata dari ungkapan crisis will make you or break you; when the going gets tough, the tough gets going.
***
Sekadar membayangkan berada di dalam kesulitan maupun mengalami kegagalan saja rasanya tidak enak, apalagi benar-benar mengalaminya. Terus, bagaimana mereka yang diceritakan di atas tak hanya bertahan dalam kesulitan maupun kegagalan, tapi malah bisa keluar dari situ sebagai pemenang?
Keyakinan.
Jawabnya adalah keyakinan tanpa putus bahwa Tuhan telah menyiapkan bagi kita suatu rencana terbaik menurut ukuran-Nya, bahwa semua kesulitan yang kita alami adalah bagian dari rencana itu. Sebuah rencana yang jika kita jalani mungkin mendatangkan ganjaran berkali-kali lipat dari pengorbanan yang kita berikan untuk menempuh rencana itu, sebagaimana kisah Nabi Ayub.
Keyakinan yang menjadi bantalan atau sandaran kita setiap kali kita terjatuh atau terhempas oleh kesulitan hidup.
Keyakinan yang tak henti memberi semangat dan energi untuk meneruskan maraton kehidupan dengan berbagai rintangannya.
Keyakinan yang menegaskan bahwa Tuhan senantiasa merawat kita, ciptaan-Nya.
***
Comments
Post a Comment